ANAKLAUT

Thursday 28 July 2011

Lambung Mangkurat



Untuk bubuhan kita nang kada tahu sejarah bahari.. Bagus banar kalu dibaca posting gini.. Ulun ambil dari blog Drs. H. Ramli Nawawi.

Serba-Serbi Sejarah Negeri Banjar dan Kebudayaannya serta Hidayat Kerohanian dan Pernik-Pernik Kehidupan Umumnya 

PERANAN LAMBUNG MANGKURAT

DALAM MEMBANGUN KERAJAAN NEGARA DIPA
DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.


Demikianlah ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.

Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.

Demikianlah ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.

Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pemukiman tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.

Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa tersebut.

Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.

Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.

Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.

Lambung Mangkurat membangun kerajaan
Setelah beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan negeri-negeri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja,

Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.

Dalam keadaan putus asa tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.

Dari petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.

Kehadiran Putri Junjung Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang tuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.

Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.

Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).

Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.

Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan "berarak".

Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau. Lambung Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).

Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.

Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud. Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.

Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.


Masa sesudah Lambung Mangkurat
Dalam silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya Ganggawangsa). Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha. Sementara itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.

Demikian pula halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.
Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama. Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.

Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja Sukarama kakeknya.

Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana. Sehubungan dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai Martapura.

Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.

Peristiwa terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.

Setelah diyakini benar bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah. Tindakan para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri, setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara Sungai Martapura. Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.

Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah. Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.

Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.- (HRN, Peneliti sejarah & nilai tradisional).
Ramli Nawawi08:23

Alabio

ALABIO (Halabiu)

oleh Papadaan AMUNTAI pada pada 04hb November 2010 pukul 3.42 pagi

  
Pada zaman kolonial Hindia Belanda dahulu Distrik Alabio adalah bekas distrik (kawedanan) yang merupakan bagian dari wilayah Administratif Onderafdeeling Alabio dan Balangan. Daerah Alabio (Halabiu) pada zaman kerajaan Hindu disebut Gagelang. Distrik Alabio pernah dipimpin oleh Kepala Distrik (districhoofd) yaitu Kiai Ismail (1899). Dewasa ini wilayah Distrik ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sungai pandan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Amuntai). Suku Banjar yang mendiami wilayah bekas distrik ini disebut Orang Alabio (Urang Halabiu). Alabio sangat terkenal dengan Itik Alabio nya yang terkenal sampai mancanegara terutama Malaysia. Orang - orang Alabio sejak dahulu terkenal sebagai para pedagang sukses. Sampai sekarang di wilayah Kalsel terdapat istilah "Ma-Halabiu", sebuah istilah yang mengarah pada salah satu kehebatan orang Alabio dalam berdalih dan merangkai kata. 





·    DATU KANDANGAN WAN DATU KARTAMINA, KISAH RAKYAT KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN BASA BANJAR
DATU KANDANGAN WAN DATU KARTAMINA
Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Basa Banjar


A. Syarmidin
Iwan Yusi
Hardiansyah Asmail
M. Fuad Rahman
Aliman Syahrani

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Datu Kandangan wan Datu Kartamina
Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Bahasa Banjar
Kalimantan Selatan: Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan

x + 80 hlm., 14 x 21 cm
Cetakan ke-1, Januari 2011
ISBN: 978-602-98149-2-3
Editor: Y.S. Agus Suseno
Desain isi: Indrian Koto
Desain cover: Nur Wahida Idris
Ilustrasi cover dan isi: M. Syahriel M. Noor

Diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan Jenderal Sudirman Nomor 26
Kandangan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

Saantum Dua Antum
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

SABUTING pulang, saling kababanyakan gawian maharagu kasanian wan kabudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan nia, iya am mangumpulakan, sakira kada hilang, napa haja kasanian, atanapi kabudayaan, nang ada.
Imbah tahun samalam diulahakan buku mamanda, galumuk ngaran bubuhan saniman wan sastrawan, kinditan kisah handap, kami baungkara pulang manggawi buku nia.

Buku Datu Kandangan wan Datu Kartamina: Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar nia dikarawatah sastrawan nang kakaya Ahmad Syarmidin, Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, M. Fuad Rahman wan Aliman Syahrani. Bubuhan dangsanak kita tuti sahibar maasai kisah-kisah nang hudah ada jua, tumatan bahari, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tuhuk bubuhannya manyalungkar, mambulangkir, kasana-kamari, dimapa am kisah nang sabujurannya.
Manulisakan baasa kisah urang bahari di Kabupaten Hulu Sungai Selatan nia kada lain pada handak mamadahakan: di banua kita banyak kisah nang musti dikatahuani, wan baik diambil hikmahnya, gasan kakanakan wayah niti. 

Banyak banar kakurangan nang, kada bisa kada, maulah buku nia maguni baluman langkar banar, nang kaya kahandak kita sabarataan. Tagal, mudahan ai hingkat mambari hayabang, sapanjanakan barang, gasan ungkara malangkari, nang dudi-dudi.

Mudahan ai buku nia hingkat jadi lilihatan, anatapi cacakutan, siapa haja nang handak mangatahuani kisah-kisah bahari di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Wasslamu’alikum Wr. Wr.

Kandangan, 8 Desember 2010

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Selatan
H. Suriani, S.Sos, M.AP
NIP 19600408 198503 1 017


Sahibar Saatiril
Bupati Hulu Sungai Selatan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji sukur kita sampaiakan wan Allah SWT, barakat rahmat wan hidayah-Nya jua maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan kawa maulah buku Datu Kandangan wan Datu Kartamina: Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar.

Ulun himung, katuju banar, wan buku nia. Ulun harap buku nia kawa mahidupakan kisah-kisah warga Kabupaten Hulu Sungai Selatan nang hudah ada tumatan bahari, gasan manahapi kasanian wan kabudayaan di banua kita.

Buku nia diharap jua jadi bukti: di banua kita ti sabujurannya banyak banar kasanian wan kabudayaan nang musti diharagu tatatarusan, sakira jangan langlam.
Ulun harap buku nia hingkat jadi pipingkutan, atawa gasan bahan, guru-guru sakulahan, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Sakira kasanian wan kabudayaan kita ada saumuran, hampai ahir jaman.
Tarima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. 

 Kandangan, 6 Desember 2010

Bupati Hulu Sungai Selatan
Dr. H. Muhammad Safi’i, M.Si


Kinditan Isi

SAANTUM DUA ANTUM KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN
SAHIBAR SAATIRIL BUPATI HULU SUNGAI SELATAN
KINDITAN ISI

A. Syarmidin
Sindupati
Mandin Tangkaramin
Tihang Barangkai Paring Baratus

Iwan Yusi
Pangantin Disambar Buhaya
Juriat Datung Gariwai
Nini Urut wan Janar
Datu Kandangan wan Datu Kartamina
Tukang si Sa’ad Sado

Hardiansyah Asmail
Datu Balan

M. Fuad Rahman
Datu Putih

Aliman Syahrani
Anja

PURAMA PANCALATUN



Sindupati 
 A. Syarmidin

BUBUHAN Dayak Maratus tuti iya nang bagana di Loksado. Bubuhannya ti sakalinya masih ada kancur jariangaunya jua wan bubuhan Dayak Ngaju. Bahari ti, bubuhannya bagana di tabing sungai, tabing laut, wan di hunjuran Pagunungan Maratus, Kalimantan Selatan. Makanya am, bubuhannya ti badingsanakan haja jua wan urang Banjar Hulu wan Banjar Kuala. Ada hual nang maulah bubuhannya ti madam, ayungannya bagana, di hunjuran Pagunungan Maratus.
Bubuhannya badiam bagalumuk. Wadah badiam tuti ngarannya balai. Rumah tinggi nang saling ganalan, nang didiami bapuluh-puluh kulawarga. Sakulawargaan mandiami babuncu balai nang banyak, nang ngarannya “ujuk”.
Nia kisah di Balai Tanginau. Sabuting ujuknya didiami Pang Udar wan Umang Lisam, laki-bini nang parahatan pusang. Pungkalanya, bapuluh tahun hudah balaki-babini, baluman jua taulih anak. Jangan baisi anak, ciri Umang Lisam cagar batianan gin, kadada. Padahal, urang sabalaian, nang sama kaya inya, balaki-babini, hudah baanakan dua-talu ikung. Ada nang hudah bacucuan.
Hati pusang laki-bini tuti ayungannya jadi asa tapakalah. Nang ngaran dianggap urang tamanang, pusang ai. Asa kada nyaman, Umang Lisam wan Pang Udar tarahat guring di pahumaan pada di balai. Basintup di rampa halus. Maharap Ning Diwata mambari anak.

*** 

Pihan malam, wayah bulan purnama. Umang Lisam mandangar bisikan gaip di kupingnya: “Lisam... Amun handak baisi anak, ikam musti balampah satu purnama. Di batang Hamandit, ikam barandam hinggan dagu. Hadap ka hulu…”
Baisukan ari, imbah bacucuk buku wan Pang Udar, Umang Lisam batagas mahakuni bisikan gaip tuti. Basarah diri wan Ning Diwata, Umang Lisam balampah.
Kada nyanyamanan nang ngaran balampah barandam di banyu tuti. Makan, amun ada jua nang kawa dimakan, daun nang larut matan di hulu, nang masuk ka muntung. Nginum, amun ada jua nang kawa dikinum, ambun nang gugur ka ilat.
Baluman pulang, huhuasnya, liwar! Dihumpatingakan banyu landas. Dirujuk batang kayu ganal. Dipuntal, hampai handak diuntal, ular ganal. Dikacak, hampai parak dikarakah, sandah. Imbah anu, banyu batang Hamandit ti manggurak saling panasan! Kada saapa, dingin kanyam!
Ari balulun. Minggu bapuntal. Purnama cangul pulang. Parak tangah malam, wayah maantara, sadar wan kada, Umang Lisam malihat kapala naga cangul di hadapannya!
“Lisam... Kahandak ikam, kabul! Kusambur ikam wan daun ulin. Makan ha, daun tuti!” Naga manyamburakan daun ulin ka muntung Umang Lisam. Umang Lisam banganga, sikap manyulum, mamamah, balalu managuk daun tuti.
“Iyih. Dintuh!” jar naga. “Amun kaina ikam baanak, ngarani Sindupati!”
Kada sawat Umang Lisam manyahuti, naga sintup. Langlam. Gaip!
Umang Lisam bakuciak, mangiau Pang Udar. Tajujumpipir Pang Udar manukui. Batajun ka batang banyu, maingkuti bininya nang handak naik ka tabing. Sambil bajalan ka rampa, Umang Lisam bakisah.

***

Lidup-lidup hati Umang Lisam wan Pang Udar mahadang janji naga. Imbahnya, janji naga tabukti. Umang Lisam batianan. Pas pihan baranak, di Balai Tanginau batambah pulang saikung anak lalakian. Ngarannya Sindupati.
Sindupati ti, amunnya dijanaki, awak luarnya kada nang kaya manusia biasa. Muha, babincul-bincul. Bigi mata, liwar galak. Nang kaya handak takaluar. Bibir, sumbing. Kulimbit awak, hirang. Amun dijanaki baastilah, di kulimbit nang hirang latat tuti babindrang, nang kaya basisik. Sisik naga!
Umang Lisam wan Pang Udar kada pati mahatiakan awak anaknya. Laki-bini tuti tatap basukur wan Ning Diwata. Tatap sayang wan Sindupati.
Sindupati kada kalah jua wan urang. Awaknya wigas. Pintar. Bakabisaan. Rajinan bagawian. Parigalnya nang batabi, baparnum, jadi pamandiran urang balai. Sakira diumpati kakanakan nang lain.
Wayah aruh ganal atawa bawanang, Sindupati umpat jua bagawian. Aruh tuti digawi pihan imbah tuntung mangatam banih. Bagarit kijang, pilanduk, atawa babi, gasan makanan, inya am nang pamintarnya. Amun pihan manyumpit, bah, damaknya kada suwah luput! Bidik banar ti pang. Bujur nang kaya tuti, inya kada mambarang sumpit. Satua nang handak digarit haja nang disumpitnya. Amun kijang talu ikung mayu haja gasan baaruhan, saitu ti pang inya manggaritakan. Kada labih, kada kurang.
Suwah jua inya maulah kakawalannya mauk. Pihan tuti kakawalannya malihat kijang nang manyusui anaknya. Wayah kakawalannya maniring sumpitan ampah ka kijang, Sindupati basinghaja maingari. Napang ada, bukahan am kijangnya ka padang tagah!
“Napang maka diusah?!” Kakawalannya sarikan.
“Inya baanakan. Anaknya masih manyusu, musti digaduh. Amun umanya kita matii, kadada lagi nang manggaduhnya. Bisa mati inya. Biar masih anak, inya handak jua hidup. Nang kaya kita jua, kalu, lakunnya?” jar Sindupati.
Damintu pang. Sindupati rahat jadi pamandiran urang balai. Apalagi wayah nia. Inya jadi pamandiran pulang. Tagal, kalambisikan haja. Nang aanumannya, sakalinya, kada sahibar pandir haja. Tagal, mawada, mahapaki, mangulibii! Nangapang, alah? Iiih, sakalinya Sindupati disuruh kawitannya bapara wan Diang Turun Dayang!

*** 

Diang Turun Dayang tuti anak Pangulu Adat, Kapala Balai Tanginau. Galuh nang bamula bujang. Galumuk kahimungan bubuhan balai. Kambang rabutan lalakian hunjuran Maratus. Muhanya, umai, liwar langkar! Kada kawa diwada. Awaknya, sadang. Mungkal. Rambutnya, ubui, labat banar! Hirang bajuntai, hampai tumit.
“Jaka Sindupati bacaramin di umbayang banyu, lah ai, amun handak jua wan Diang Turun Dayang?” jar Apau, takulibi.
“Iya am. Cah, kada pacangan tatangkup pang utas parimata, amun ambannya tambaga!” Ritung mancalungap.
“Katia Turun Dayang... Umbuiku nang hudah lukut gin, kadanya hakun!” Sarnam umpat jua mancalungap.
“Cah, ai... Sarana mandahului Ning Diwata,” Santang maningkah pandir. “Amun nang diparai tuti mahakuni, napa garang?”
“Hakun?” Apau manggalakak, tatawa saling landangan. “Pandangarku, nang diparai tuti maulur. Handak bapikir dahulu, jar. Pangrasaku ti, urang baindah banar ham!”
“Hau? Naaah... Amun nang kaya tuti, pumput hudah kisahnya. Sarana dikuya lagi. Tagal, kasian jua Sindupati, lah ai? Musti inya asa dikarukut bidawang!” Mancalungap pulang Santang.
“Ujar Pang Udar, tadi ti Sindupati tulak ka hutan. Bacari paikat wan damar,” Kuntut manyurung pandir.
“Gasan jujuran, saku?” Sarnam maulu-ulu.
“Hudah gin. Sadang!” Suara Santang pinda kancang. “Inya tuti kawan kita jua. Kawan nang baik ha pulang.”

*** 

Tatangguhan Sarnam, sakalinya banaran. Sindupati ka hutan dasar bacari paikat wan damar. Gasan jujuran, amun paraannya tuti kaina mahakuni. Bahimat inya bagawi, bacari, gasan tanda sayang ka anu Diang Turun Dayang.
Puhun kamarian, imbah karing paluh, Sindupati ka batang Hamandit handak balambui, atanapi mandi. Tuhuk bakunyung, banyalam, inya naik ka atas batu ganal di tangah batang. Barabah. Babarubus angin maulah matanya kalat, mangantuk kada katahanan. Kada saapa, inya taguring.
Inya saikit kada tahu amun jauh di hulu, hujan turun saling labatan. Banyu nang kaya diluruk tumatan langit. Banyu batang Hamandit balandas. Saitu-saini, baah. Rampakan banyu mahawar awak Sindupati. Hingak-hingak inya, timbul-tinggalam. Handak bakunyung ka tabing, ulak banyu manjuhutnya. Awaknya larut di ulak. Tabawa ka hilir, ka ampah kandarasan nang banyak batu landap di bawahnya.
Sindupati bahimat bakunyung ampah ka tabing. Kada hingkat. Kandarasan ulak landas tuti parak banar hudah. Sapaningau haja lagi. Diigutnya bibir. Nang kawa, ayungannya, basarah diri haja lagi.
“Ning Diwata... Amunnya aku mati, aku tatap basukur. Nang kadamintu ti musti hudah nang paling baik, nang Dika bari gasan diaku…”
Pas tahayut watun kandarasan, Sindupati takulipai satumat ka atas, balalu sasadi maniruk ampah ka sahimpil batu. Manggarabau bunyi awak tahangkup! Bunyi tulang ramuk! Bunyi banyu balimbur nang mangalalak!
Awak Sindupati tinggalam. Wayah maantara, awaknya asa taangkat ka atas banyu. Dihiyutnya hinak. Dibuncalingakannya mata. Takalimpapak  inya. Inya tatingharap di kapala naga!
“Sindupati! Nangapang ikam?! Handak mati mudarkah?!” jar naga.
“Kada...” Sindupati lumpi manyahuti. Sambil takuringis maarit sakit ngilu tulang awak nang patah, dikisahakannya pungkala nang maumpinaknya.
“Jadi, ikam hudah bapara wan Diang Turun Dayang, lah ai? Cah! Sadar juakah, dimapa muhamu?”
“Sadar haja... Awak rigat wan rupa nang jahat nia barian Ning Diwata jua. Aku ti, napang ada. Sahibar manjalani haja. Sambil bausaha. Sayangku wan Diang Turun Dayang kada sayang sambarang sayang, tagal sayang nang tulus suci. Tuti barian Ning Diwata jua...”
Naga baarunuh mandangar sahutan Sindupati. “Dintu am, Nak ai! Takdir Ning Diwata hudah nang paling baik!”
Naga mahawarakan awak Sindupati ka atas. Pas di bawah intang kaguguran awak Sindupati, muntung naga banganga. Mahadang. Kap! Manungap! Sakijipan mata haja, awak Sindupati mangalunyur masuk dalam muntung naga. Kada saapa, diluaknya pulang! Saling gancangan! Awak Sindupati dihimpating ka tabing!
“Bulik ha, Nak ai! Kawitan ikam hudah pinik mahadangi,” jar naga sambil banyalam. Langlam di ulak banyu batang Hamandit nang dalam.
Mangalantatak bibir Sindupati basukur ka anu Ning Diwata. Inya kada jadi mati. Tulang awaknya nang patah, asa kada sakit lagi. Pinda tabaik pada nang tadi! Tagal, awaknya asa bagatah. Bakas liur naga! Bapuat inya ampah ka banyu. Handak mambarasihi awak.
Pas manculup tangan, handak batampungas, takalimpapak inya manjanaki umbayang di banyu. Muha lalakian nang saling bungasan! Siapang ti? Dipusutnya mata. Ditingaunya ka balakang. Kadada siapa-siapa.
Baarti umbayang di banyu niti muhaku, jar Sindupati. Saitu-saini, inya batilungkup. Basukur ka anu Ning Diwata.
Imbah mandi, badadas Sindupati bulik ka Balai Tanginau. Bubuhan balai nang pihan ranai, takalimpapak malihat ada urang nang liwar langkar, cangul di halaman. Santang, Sarnam wan Apau mangacak hulu parang, sadi maumpinak urang nang kada suwah dilihat tuti.
Kapala balai, Abah Diang Turun Dayang, mamaraki. Di balakangnya, bajurut warga balai nang lain, manjagai.
“Siapang ikam ti? Napa kahandak datang ka mari?” jar Kapala Balai.
“Bulik ka ujuk. Manamuni kawitan. Mandapati dangsanak sabarataan,” Sindupati manyahut. Suaranya biasa haja.
“Hau? Bulik? Jangan mangabuwau, jangan bakaramput! Warga balai sabarataan bapinanduan. Tagal, kami asa kada suwah malihat ikam!”
“Ulun Sindupati. Anak Pang Udar wan Umang Lisam.”
“Sindupati... ?!” Warga takipik sabarataan.
Santang badadas balingkang ka muka. “Ui, baapik pandir! Jangan sararabahnya ilat haja! Amun kada, parangku nia nang manataknya!” Tangannya mangacak hulu parang.
            “Banaran. Aku Sindupati. Ning Diwata maubah ragaku.”
            Di galumuk warga, manyilak Umang Lisam. Matanya nahap manjanaki Sindupati, “Amun wani bakaku anakku, ikam kada kurilaakan saumuran! Sambilan bulan sambilan ari dalam parut, aku pinandu banar wan anakku. Warga, tahu cirinya. Ciri matan di parut! Bacalak hirang, nang kaya daun, di balukuk. Amun ada ciri kandamintu, hanyar aku parcaya ikam niti anakku!”
Sabarataan nang ada di halaman balai, manjanaki Sindupati. Santang mancabut parang, balingkang mamaraki Sindupati nang badiri mancugut, nang kaya hampatung, kada sing garakan.
Tangan kanan Santang sadi mariwas, tangan kiwa maruhut bakakarasan baju kulit talimbaran nang disantak Sindupati. Diruhut bakakarasan, baju Sindupati wawah. Inya manguliat. Babalik. Mata bubuhan balai tabuncaling, malihat calak hirang di balukuknya!
Umang Lisam wan Pang Udar mangalunyur, bahimat maragap Sindupati. Imbahnya, di lantai balai, sambil duduk basila, Sindupati bakisah. Wayah Sindupati bakisah, ada mata bibinian nang nahap manjanakinya: Diang Turun Dayang.
Pumput kisah, Sindupati bacangangan wan Diang Turun Dayang. Sindupati takurihing, lihum bapair. Diang Turun Dayang supan. Kasisipuan. Basintup di balukuk Umang Lisam...[]

Kandangan, 23 Nopember 2010


Mandin Tangkaramin
A. Syarmidin

BAANDAK di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Loksado tabuat jadi kacamatan. Di situ ti ada Kampung Malinau. Kikira sapal, saku, pada kampung tuti, ada banyu batajun. Ngarannya Mandin Tangkaramin. Jar urang tuha bahari, “mandin” ti artinya “banyu batajun”. Jadi, Mandin Tangkaramin artinya “banyu batajun Tangkaramin”. Tagal, “mandin” tuti hudah sabuku saruas wan “Tangkaramin”. Jadi, ngarannya hudah kada kawa dipisah lagi.
Banyu batajun tuti kada amun tinggi banar. Palingan talung walas dapa. Jalumbun mangadap ha di sakulilingan. Bilang nang kaya malam ha amun badiri di situ ti.
Di bawah banyu batajun Mandin Tangkaramin tuti, banyak batu, halus, ganal. Ada bubungkahan batu nang taganal pada nang lain: babalang habang, nang kaya kulipak manggis anum, bangaran Manggu Masak.
Ujar, banyu batajun tuti ada kisahnya. Kisah Bujang Alai nang bahual wan Bujang Kuratauan. Parigal nang badua tuti asing-asingnya ada kurang, ada labihnya. Bujang Alai urangnya langkar, sugih, tagal cakah. Kamana haja, inya mambawa karis wan babasal salilit pinggang. Pangrasa jagau, bilang sakahandak inya ai parigal. Piragah pawaninya ti pang. Kahandaknya ti, urang sakampungan takutan wan inya.
Lain pulang Bujang Kuratauan. Urangnya kada langkar kada. Kada cakah. Tasabar. Kada sugih kada. Tagal, inya bapakai di kampung. Napang, amun urang bamujakarah, barakat mupakat, sabarataan mahadang inya, hanyar bamula. Asa kada pagat kisah amun kada inya nang maampihi. Amun Bujang Alai bakaris wan bababasal, Bujang Kuratauan kada tatinggal parang bungkul di pinggang. Tagal, ganggamannya ti kada tacabut amun kada gasan kabaikan.

***

Bamula kisah. Arian ti, kampung galu. Ada bibinian bujang di kampung ti nang hilang. Lakun nang kaya tuti amun di kampung bilang manyupani kulawarga babanaran. Lain pada malanggar adat kabiasaan, asa ditapas di muha ti pang jua kawitannya.
Mandangar habar tuti, Bujang Kuratauan asa kada nyaman. Bujur bibinian nang hilang tuti kadada kancur jariangaunya wan inya, tagal nang ngaran inya tamasuk nang bapakai, handak tahu jua inya, napa maka di kampungnya bisa ada urang hilang. Tatangar ti: Bujang Alai, saku, ampun idabul.
“Kapuhunan am ikam, Bujang Alai ai,” jar Bujang Kuratauan dalam hati.
Baluman tuntung galu, Bujang Alai hudah bakukuncamih padang urang banyak: “Bibinian tuti ada di anu aku! Amun ada nang handak maambil, hantai karisku!”
Mandangar parigal nang pinda mambuang parangai tuti, Bujang Kuratauan asa tapanasi. Manginging talinganya. Giginya mangalatak. Matanya habang. Sambil mancakuti hulu parang bungkul di pinggang, inya manyahuti, “Amun maambili ka anu ikam, aku cakada hakun. Tagal, amun ikam lalakian, kita habisakan damini jua!”
“Akur! Awan karisku tih, amun handak tahu siapa aku!” Bujang Alai mancakuti karis di pinggangnya.
“Aku kada bacari musuh. Tagal, amun tadupak, kada babukahan! Amun ikam bajual, parangku nia nang manukarinya!” Bujang Kuratauan indah kalah.
Napang ada, pada amuk ha nang badua tuti bakalahi.
Karis Nagarunting ampun Bujang Alai dicabutnya, dihuhujukakannya ka atas. Pinda kapiragahan banar Bujang Alai tuti. Kada hakun kalah, Bujang Kuratauan mancabut parang bungkulnya nang larapan bulu, sambil diririwasakannya.
Bakakajutan Bujang Alai manyucuk parut Bujang Kuratauan. Tagal, Bujang Kuratauan hudah basiap. Baliung inya. Jaka handak, kawa ai inya manimpas gulu Bujang Alai. Tagal, inya kada purun. Bujang Alai sasain sarik.
“Timpasakan parang ikam ti, amun wani!” Bujang Alai manantang.
Bujang Kuratauan lihum. Tangannya sasain pisit mancakuti parang bungkul, sambil bapikir napa pulang nang cagar digawi Bujang Alai.
Bujang Alai amuk buta. Cucuk riwas barait karisnya ka awak Bujang Kuratauan. Asa kada kawa baliung lagi, tapaksa ai Bujang Alai mambalas. Parang bungkulnya kada kahitungan lagi manimpasi awak Bujang Alai.
Tagal, nang ngaran nang badua tuti sama pada taguh, tahan wasi, napang ada, kadada nang lukanya!
“Kita tarusakan di lain!” jar Bujang Alai.
“Akur! Di manang, hi?” 
“Di Mandin Tangkaramin!“
“Ka situ kita!”
Amuk kalahi tamandak, pahadangan nang badua tuti maatur siasat.
Bujang Kuratauan bapikir: Bujang Alai ti taguh. Parang bungkulnya nang larapan bulu gin kada kawa malukainya. Balalu, parang bungkul tuti ditumpulinya. Liwar tumpulnya, nang kaya balukuk parang.
Ada Bujang Alai bapikir: amun karisnya sasain landap, musti kawa malukai Bujang Kuratauan. Balalu, bahimat ai inya maasah karisnya.

***

Balalu kisah. Di Mandin Tangkaramin, nang badua tuti bakalahi pulang. Nang ngaran sama pada taguh, kadada nang lukanya. Karis Bujang Alai nang liwar landap, kada kawa malukai Bujang Kuratauan.
Tagal, parang bungkul tumpul maulah Bujang Alai kuciak-kuciak kasakitan, wayah dicatukakan Bujang Kuratauan saling gancangan. Ayungannya, awak Bujang Alai mumuk di dalam. Kada saapa, mati!
Mandangar Bujang Alai mati, kulawarganya liwar sarik. Handak amuk. Hutang darah, balas darah. Hutang mati, bayar mati!
Mandangar habar tuti, kulawarga Bujang Kuratauan kada baranai haja jua. Balampu damar, wayah malam, bubuhannya pindahan ka hutan. Wayah tahu ti, sasain amuk ai kula-kula wan mamarina Bujang Alai. Bahimat bubuhannya mancarii. 
Hampai di atas banyu batajun Mandin Tangkaramin, bubuhan kulawarga Bujang Kuratauan manimbai lampu damarnya ka bawah banyu batajun. Dikira bubuhan Bujang Alai, musuhnya ti handak bukahan, mahantas jalan. Napang, pada disasahnya ai api lampu damar tuti. 
Sakalinya, jalan ampah ka api lampu damar tuti, jurang! Jurang nang tuju ka bawah banyu batajun. Napang ada, pada kacabauan ha bubuhan Bujang Alai, tagugur ka batu-batu banyu batajun! Batu-batu ti babalang-balang habang, hibak darah bubuhan Bujang Alai. Bubuhan Bujang Alai wan kulawarganya matian sabarataan! 
Imbah malihat batu babalang habang nang kaya kulipak manggis masak ti, urang kampung mangaraninya Batu Manggu Masak.[]



Tihang Barangkai Paring Baratus 
A. Syarmidin

DI kampung hunjuran Gunung Kantawan ada dua ikung kakanakan nang yatim-piatu, ngarannya Mikar wan Miramidan. Badua badangsanak tuti digaduh mamarinanya, Datung Garunggung. Sasain ganal, sasain bapintar nang badua ti. Baibadah, rajin. Wan kawitan angkat, paasian. Rajin bagawian. Katuju batutulungan.
Badua badangsanak tuti handak balampah, manambah kajian, sakira kawa jua bapakai di kampung. Imbah bapadah wan Datung Garunggung, tulakan ai nang badua tuti balampah. Miramidan ka Liang Nyaru, guha nang jar urang bahari ti kaandakan batu patir. Mikar ka bawah rapun kayu ganal, di tabing Sungai Amandit.
Kada karasaan, Mikar tuntung balampah. Inya dibari Ning Diwata ilmu gancang. Nangapa haja, nang ganal-ganal, kawa diangkatnya.
Sabaluman bulik ka kampung, Mikar manyinggahi adingnya di Liang Nyaru. Dikiaunya nang ading. Kadada sahutan. Asa batagur hati Mikar. Napang, bunyi sasahutan suaranya haja nang tadangar di guha, tagal sahutan adingnya kadada.
Imbah tuhuk bakiau, nang ading cangul di hadapan. Bacacangan ai nang badua tuti.
“Sadang kita bulikan,” jar Mikar.
Lihum Miramidan. “Umai alah, Ka... Aku hudah jadi satu wan batu patir di alam gaip. Kada kawa bulik lagi.”
“Jadi, ikam ti handak badiam di sia ah?”
“Iyih,” jar Miramidan. “Pasanku, amunnya ada kula-kula kita nang dapat musibah, siapakan lakatan hirang wan ruku daun nipah. Andak di atas lalantingan. Larutakan di banyu. Kiau ngaranku talu kali, datang tu aku.”
Imbah tuti, Miramidan hilang. Gaip.
Bilang kada karuan hati Mikar. Napang, inya tapaksa bapisah wan adingnya.

***

Mikar bulik, Datung Garunggung wan warga kampung himung. Napang, ilmu nang dibawanya tapakai banar. Inya rajin mandangani urang kampung nang handak maulah pahumaan. Manabukakan tanah, sakira babanyu. Maulahakan jambatan. Maangkatakan kayu nang ganal-ganal, nang gasan baulah rumah, balai atawa kindai.
Gasan hidupnya saurang, Mikar bahuma. Bacari iwak. Manuris hanau.
Arian ti, paharatan manuris, kada singhaja tangannya tahayut hambatar di palapah hanau. Asa maras kasian, hambatar tuti dibawanya bulik ka rumah. Imbah talu ari, tang nangapakah maka hambatar tuti ubah: jadi bibinian nang liwar langkar! Ngarannya Putri Hambatar. Balalu, nang badua ti kawinan.
Batahun-tahun kawin, Putri Hambatar kada jua baanakan. Disuruhnya lakinya babini pulang. Tagal, Mikar kada hakun. Kada purun. Inya kasian wan nang bini, amun bamadu.

*** 

Arian ti, wayah Mikar malihati lukah, inya pakulih iwak kalui nang ganal. Wayah handak mambuat ka ladung, hatinya batagur. Timbul asa maras kasian wan iwak tuti. Hampai rumah, iwak tuti kada langsung disianginya, tagal dibuatnya ka gadur. Wayah tangah malam, iwak tuti ubah jadi bibinian langkar! Ngarannya Putri Kalui.
Malihat Putri Kalui ari-ari baulak di rumah, Putri Hambatar manggasak Mikar mangawininya. Sakira taulih anak.
“Putri Kalui hudah dipandir urang,” jar Putri Hambatar. “Daripada disambati nang kada-kada, baik kawini ha inya. Kalu ai...”
“Kalu ai, nangapa?” jar Mikar.
“Hampian handak baisian anak, kalu? Amun hampian kawini inya, kalu ai bakulih.”
Imbah tuhuk disurung-surung, Mikar hakun jua mangawini Putri Kalui. Balalu, Putri Kalui baranakan. Bibinian. Ngarannya Mayang.
Wayah Mayang umur ampat tahun, Mikar handak maulah balai. Dikumpulakannya anam batang ulin ganal, gasan tihang, wan baratus-ratus paring, gasan lantai wan tawing.
Baisukan Jumahat, warga takumpulan sabarataan. Bibinian auran, mandangani Putri Hambatar wan Putri Kalui manyiapakan aruh batajak tihang balai. Nang lalakiannya manabuk luang. Dalamnya dua dapaan, kulilingnya satangah dapa, gasan manajak tihang.
Tangah ari, aruh bamula. Wayah aruh, tangan Mikar digamit Mayang, anaknya, “Bah, Mayang handak manangkap kupu-kupu...”
“Iyih. Tagal, jangan jauh-jauh,” jar Mikar.
Tuntung makanan, Mikar basiap manajak tihang ulin. Diangkatnya sabuting, ditajaknya. Wayah tihang ditajak, tang nangapakah maka ada kuciak urang kasakitan, matan dalam luang! Kada saapa, mancurat banyu habang. Darah!
Urang galu. Tihang dicabut Mikar pulang. Imbah dilihatnya dalam luang, inya mandam. Napang, awak nang ramuk dalam luang tuti sakalinya anaknya saurang, Mayang!
Malihat tuti, bakuciak Putri Kalui. Inya manangis bahimat, bagulung-gulung, hampai taka sungai. Babaya tajapai banyu, awaknya hilang! Bulik ka alam gaip! Putri Hambatar dintu  jua. Imbah kuciak-kuciak, bagulung-gulung di tanah, awaknya hilang jua! Mikar mauk. Ngalu kapalanya. Pinik. Pusing naning.
Kada katahanan lagi, amuk buta inya. Diangkat wan dihamburakannya tihang ulin wan paring nang baratus-ratus banyaknya ti, sambil manyumpah-nyumpah.
“Mulai wayah niti, kada kubariakan urang maulah rumah batihang ulin! Siapa haja nang kada maasi, pacangan dapat musibah!”
Lintuk awak Mikar.
Inya kaingatan adingnya, Miramidan. Badadas disiapakannya lakatan hirang, ruku daun nipah, wan lalantingan. Dikiaunya ngaran Miramidan talu kali. Miramidan cangul di hadapannya.
“Ding... Bulikakan ha hidupku, kaya nang asal!” Mikar maingui.
Tauling Miramidan. “Halin, Ka ai. Hudah takdir Ning Diwata. Amun handak bakumpul wan anak-bini hampian di alam sana, balampah ha. Minta ka anu Ning Diwata...”
Imbah Mikar kadada lagi, tihang ulin wan paring nang bahamburan tuti jadi batu. Batu ti dingarani urang Tihang Barangkai Paring Baratus.[]



Pangantin Disambar Buhaya 
 Iwan Yusi

MATAN baisukan lacit ka juhur, bunyi gamalan urang bagipang kada sing rantian. Puas bagipang, bakuntau. Imbah ti, banaikan batang pinang nang bapantul pulang. Utuh Hirang bahimat banar bakarasmin. Mangawinakan anak nang pauncitan.
Nang ngaran bapangantinan, rumah Utuh Hirang kada sing rantian didatangi urang. Bajurut-jurut urang saruan, salajur handak malihat pangantin batatai.
Tuntung karasmin, maatar pangantin bailangan pulang ka wadah pangantin lalakiannya. Pangantin basilih baju pulang. Bahias. Batulis kaning. Bacalak mata. Bagalang. Bakangkalung, barundun-rundun.
Tumatan Muning ka Banua Pahalatan tuti, kada kawa bajalan batis. Bajukung makalaham. Banyunya saling luasan, pantar lautan. Napang, bakawinan parahatan banyu manyurung pang, di Danau Bangkau.
Kada kurang pada pitung walas buah jukung ganal-halus maatar pangantin bailangan. Pangantin lalakian wan pangantin bibiniannya batatai di jukung ganal. Bahias habang hijau. Bahindang bahindala.
Imbah batatangah jaman labih jukung dikayuh, ditanjak, hampai am wadah pangantin lalakiannya. Urang nang di subarang kada sabar lagi mahadangi, handak malihat pangantin bibiniannya. Kawitan pangantin lalakiannya handak banar jua malihat minantunya, nang bungas langkar pangurihingan.
Asa singkal pagalangan tukang tanjak, panat bakayuh. Jukung sasain parak wan tanah timbul, nang disambat urang “mungkur”.
Babaya jukung parak wan mungkur ti, tang bagarambuak ha banyu, tang cangul ha buhaya! Ganalnya nang kaya batang rumbia! Buhaya manungap pangantin bibiniannya, balalu mambatak ka banyu, nang dalamnya sapananjak lupung.
Tuganal takajut kada sakira. Saitu-saini inya bakuciak, malihat bininya disambar buhaya. “Tuluuuuung...!”
Saikung-ikung kadada nang waninya manajuni. Napang, buhayanya saling ganalan! Taringnya marihing. Curing. Buntutnya mahambat biding jukung. Jukung parak tabalik!
Arak-arakan tabulik ka banua. Ada jua nang balakas mananjak, batarus ka tujuan, mamadahakan pangantin bibiniannya dapat musibah.
Utuh Hirang, kawitan pangantin bibiniannya, hudah kada tahu di burit kapala lagi. Diambilinya paaliran nang wani manggarit buhaya ka sarangnya. Bininya maka am, kujul-kujul, siup!
Kamarian ti jua, pangantin nang disambar buhaya handak dicarii. 
“Ikam, Tuh ai, musti umpat aku manyalami!” jar paaliran.
“Umai... Ulun kada wani! Sama maatar umur. Badimapa, lah ai? Banyalam gin ulun kada landang!” Tuganal katakutanan.
“Jangan takutan! Kujamin, ikam salamatan haja. Bacakut pisit-pisit di awakku. Jangan dilapas. Iringi ha, aku!”
“Burusihalah ulun pulang nang ditungapnya?”
“Jangan gair! Amun ikam handak tahu bini ikam masih hidup di alam sana, umpati aku! Jangan taka isuk! Ayuha, kada papa!” Paaliran mauyuni.
“Inggih. Ayuha,” Tuganal lakas manyahuti, imbah mandangar bininya masih hidup.
“Dangarakan lagi, nah!” Paaliran manahapi pulang. “Amun di situ ti kaina urang manyurungi nangapakah, sambut haja! Jangan ditampik!”
“Inggih,” Tuganal baunggut nang kaya angui.
Paaliran mamuruk baju, salawar, baikat kapala nang saraba kuning. Jukung dikayuh ka tangah danau, baparak ka mungkur.
Muntung paaliran karimut-karimut. Bamamang. Tangannya manapuki banyu di higa jukung. Bapaparapat jam bamamang. Napa-napakah. Kada lawas, banyu baburinik. Tuti tatangar, mamang paaliran didangar urang alam banyu.
Byuuuurrrr !!!
Paaliran batajun, baimbai Tuganal nang mancakuti tali pinggangnya.
Nang ngaran banyalam di banyu, nyata ai kada kawa bahinak. Bahimat Tuganal manahan hinak, sakira kada mati lamas. Napang, dalamnya parak dua pananjak! Kada saapa, tajajak parut danau. Kada jauh pada wadah bajajak tuti, ada liang. Nang kaya guha. Luas.          
Iwak kalunyuran di higa awak. Ganal-ganal. Ada haruan, tauman, kihung, sapat siam, kalui, biawan, kapar, papuyu, macam-macam iwak padang. Pinda patuh ha iwak-iwaknya. Jaka wayah bacari iwak, nyaman banar manangkapi. Tagal, niti handak mancari bini Tuganal nang ditanggung buhaya.
Paaliran wan Tuganal mangalunyur masuk ka dalam liang. Tangan Tuganal bacakut kada sing lapasan. Babaya masuk liang, hau, asa lapang hinak. Nyaman bahinak! Nang kaya kada dalam banyu. Sakijipan haja, balajuran asa nang kaya di padang urang banyak. Pantar asa di banua urang.
Palingau-palingau paaliran wan Tuganal manjanaki urang nang asing-asingnya auran. Ada nang bakakutuan di palatar. Ada nang manyusui anak. Ada nang manampi baras. Ada kakanakan bamainan, batungkau, balugu, bakalikir, bagasing, badaku. Macam-macam ti pang. Kada sasalisih, nang kaya di banua saurang.
Kada jauh, ada urang bagarumbung. Nang kaya ada gawi. Ada nang manungkih kayu, maangkat kawah, baulah tungku. Macam-macam ti pang.
“Napang, Julak, pinda rami?” Paaliran matakuni urang nang rambutnya bahuban, nang pinda dimalui pada nang lain.
“Handak baaruhan. Manyalamati danau. Kami handak manyumbalih kambing. Tuh, liat, kambingnya hudah di kandang,” urang tuha tuti manunjuk. Di dalam kandang ada ampat ikung kambing bini nang lamak mungkal.
Paaliran baparak ka kandang. Diitihinya kambing-kambing tuti. “Ai, Julak! Maap banar, nah! Kambing hirang nang bakangkalung tuti, ampun kami! Tuti kambing kami nang hilang tadi! Dimapa, alah? Kami bawa bulik ai, nah!”
“Harat muha! Jagau banarkah ikam, maka datang-datang handak maambil kambing kami?!” jar urang nang giginya juhing, nang badiri di higa urang tuha tadi, pinda sarik. Muhanya karau. Inya baparak, balalu manampar paaliran.
Paaliran kada baranai jua. Inya bauling. Kada kawa dihalat lagi, paaliran wan urang juhing tuti bakalahi. Baudar. Baganti igut. Bakarukut. Baganti tinjak. Batampar. Basuntul. Amuk ti pang. Ayungannya, sama pada kauyuhan. Paaliran taduduk. Mahingal. Musuhnya sama, tadangkakak, hingal-hingal jua.
“Ayuha, hudah! Sarana bakalahi lagi! Ambil ha kambing ikam tuti! Bawa bulik!” jar nang tuha bahuban tadi.
“Lakasi, Tuganal! Napa dihadang? Tarik kambing tuti! Kita bulikan!” Paaliran manyuruh Tuganal mambawa kambing hirang nang bakangkalung.
“Ulun mancari bini nang hilang, kada bacari kambing!” Tuganal kada igul-igul.
”Dintu, lih? Amun damintu, kambingnya kami sumbalih ai,” jar nang tuha tadi pulang.
“Sumbalih ha!” jar Tuganal.
Disumbalih urang ai kambing tuti. Paaliran tauling kapala. Kada purun manjanaki, wayah gulu kambing digayat. Darah mancurat. Tuganal maka am, nahap manjanaki. Cagat gulunya.
Imbah urang tuntung manyumbalih, paaliran baucap wan nang tuha tuti, “Aku minta tangannya, dangsanaklah? Nang kiwa gin.”
“Ambil ha. Bawa ha.”
Kada banyak pandir lagi, imbah manjumput tangan kambing tuti, paaliran mambawai Tuganal balakas bulikan.

*** 

Imbah kaluar pada liang pamulaan masuk tadi, paaliran wan Tuganal asa sasak pulang hinak. Napang amun kujak-kujak, bakunyung di banyu karuh. Iwak wan bidawang  kalunyuran di higa awak.
Saling lawasan urang mahadangi di atas jukung, hanyar timbul burinik banyu. Tuti tanda, nang dihadangi hudah parak bangsul. Imbah banyu di higa jukung bagarambuak, bagalumbang ganal, balalu timbul kapala paaliran wan Tuganal.
Nang badua ti langsung naik ka jukung.
Ganal hinak Tuganal. Napang, liwar ngangal. Tasandar inya di biding jukung. Awak paaliran maka am hibak darah. Bajunya barabit-rabit. Wawah. Mantuk bakalahi tadi ti pang.
Imbah asa lapang hinak, hanyar Tuganal sadar: inya tadi dibawa paaliran ka alam subalah, alam urang halus, mancarii bininya nang disambar buhaya.
Babaya diitihi, tangan kambing nang dibawa paaliran tadi iya tangan bini Tuganal! Mata Tuganal tabuncalang. Galang amas nang dua bingkai masih balilit di pagalangan tangan bininya nang lamak mungkal. Utas amas baparimata mirah dalima masih ada jua di jarigi tangannya. Pacar kukunya masih habang, mancaranang.
Saitu-saini Tuganal bakancahung. Manangis. Nang kaya kakanakan ha lagi. Inya kalumpanan pasan paaliran wayah di jukung. Liwar manyasal inya, kada paasian. Jaka maasi, kada tapisah pang inya wan aruwah bininya, nang baluman sahari dikawininya.
Imbah tuti, tanah timbul di tangah Danau Bangkau dingarani urang Mungkur Kambing.[]

Kandangan, 7 November 2010



Juriat Datung Gariwai 
Iwan Yusi

SANJA ari. Langit nang kaya bakalir: habang, nyarak, bacampur habuk. Burung tinjau tarabang saling randahan. Suaranya nang kaya tatangar. Burung tuti hinggap di rapun hanau di higa rumah Gariwai, nang hanyar bulik bakabun.
“Nangapang ti, Gariwai, pinda pusang?” Abahnya batakun.
“Kabun gumbili habis dibulangkir babi!” Gariwai manimbai cangkul parak palatar, sangkal.
“Ulahakan kandang kuliling kabun.”
“Hudah, Bah ai. Hudah bakandang haur. Tagal, babi tuti maakal! Kandang rusak ditampuhnya! Habis akal hudah, nah,” Gariwai mamusut paluh di dahi ka baju tilasan.
“Basabar ha, Nak ai. Mandi gin dahulu. Ari parak Magrip, nah.”
Langit kadap. Angin dingin. Urang naikan ka rumah. Anak katutupi cacaricit di batang tarap.
Gariwai duduk hadap lampu samprung nang diandak di lantai. Abahnya basandar ka tawing halat, paparupus baruku. Hanyar mantuk makanan. Uma Gariwai babasuh piring di pambanyuan.
“Isuk, imbah Asar, tunggui kabun ikam. Bawa nia, nah,” jar Abah Gariwai, manyurung tumbak. “Tagal, jangan dihilangakan. Niti tumbak pusaka, paninggalan kai ikam. Apik-apik maharagu.”
Gariwai unggut-unggut.
Isuknya, imbah Asar, Gariwai hudah di kabun. Inya singhaja basimpan di higa rapun kuwini nang ganal. Kada lawas, kadangaran bunyi batis babi datang. Bapuluh-puluh ikung, bajurut masuk kabun!
“Huuaaaaahhhh....!!!“ Gariwai kuriak-kuriak mausah babi tuti sambil manyasah wan tumbak.
Mandangar Gariwai bakancahung saling nyaringan, babi-babi tuti bukahan katakutanan. Tagal, nang ngaran hudah kasarikan, Gariwai tarus haja mausah babi-babi tuti.
Babi nang pangganalnya, bukah pandahuluannya. Nang lainnya, mairingi di balakang. Nang tahalus, bukah pauncitan.
Liwar sariknya Gariwai wan babi-babi tuti. Sambil manyasah, ditingkalungakannya tumbak saling gancangan. Tumbak bahulu kayu ulin tuti tarabang ampah ka burit babi. Tumbak nang curing tuti maricup! Pas kana burit babi nang pauncitan! Napang ada, satua tuti manggarung saling nyaringan. Kasakitan. Bukah kada katanahan! Tumbak tuti tatajak di tamping buritnya. Babi nang lain sasain laju bukahan, masuk hutanan.

*** 

Ari bamula kadap.
Gariwai bukah tarus, mahingal, manyasahi babi-babi nang masuk ka hutanan. Inya handak maambil tumbak nang tatajak di tamping burit babi tuti. Pikirannya harung kada sakira. Dimapa amun tumbak tuti hilang? Samalam inya hudah dipasani Abahnya: tumbak pusaka tuti jangan sampai hilang.
Batatangah jam Gariwai mairingi babi-babi tuti. Pas di parak gunung, babi-babi tuti masuk ka guha. Gariwai tagana di muharanya. Hinak mahingal. Paluh guguran, katapukan, nang kakaya bigi jagung. Liwar ngangalnya. Asa handak bulik. Tagal, inya kaingatan pasan Abahnya.
Bagimit inya masuk ka guha. Sasain bakadalam, babi tuti kada talihat saikung-ikung. Nang ada, lapak batis babi-babi tuti haja di tanah. Lapak batis babi tuti diiringinya.
Kada saapa, Gariwai batamuan susungaian. Tinggi banyunya, kikira sabuku lali. Tagal, hinggan situ ti haja lapak batis babinya. Imbah tuti, kadada lagi. Di subarang susungaian, nang ada bakas lapak batis manusia haja.
Gariwai mairingi lapak batis manusia nang pinda banyak tuti. Asa handak tahu inya: siapang, urang manang, ampunnya? Ada kada raraitannya wan babi nang mambawa tumbaknya?
Kada lawas, ari kadap.
Tang nangapakah ha, tahu-tahu inya ada di padang urang banyak. Tang ada di kampung urang. Inya kapulingaan. Nang kaya buburak kalingaian. Tagal, tarus haja inya bajalan padang urang banyak tuti. Bagimit inya baampah ka rumah nang tumatan jauh pinda pambaiknya. Halaman rumahnya, tarang, balampu damar. Banyak urang, bagalumuk. Bapandiran. Lalakian, bibinian, tuha, anum. Nang kaya ada gawi.
Gariwai baparak.
“Umpat batakun, nah,” jar Gariwai wan urang tuha nang duduk di palatar.
“Napang ti, Tuh?”
“Rumah siapang nia? Napang pinda rami?”
“Uuuu, niti rumah raja! Raja kami kana musibah. Anak hidin nang bibinian, garing. Luka. Kana tumbak urang!”
“Kana tumbak?”
“Iyih!”
“Umai, alah… Napang ti kisahnya, maka kana tumbak? Jaka anak lalakian, palingan maraga bakalahi,” Gariwai bagaru kapala.
“Anak raja kami ti katuju bamainan di hutanan pang. Jar kakawalannya ti, maraga maambil buah di kabun urang. Nang ampun kabun, sarik, balalu ditumbaknya!”
“Uuuh, dintu ah? Kasiannya, lih?” Gariwai unggut-unggut.
“Ujar raja, siapa haja nang kawa manulungi, manambai, cagar dikawinakan wan anak hidin.”
Galudupan hati Gariwai mandangar kisah urang tuha ti. Sikap inya manyahut,  “Umai, alah? Kawalah ulun umpat?”
“Kawa banar! Ayuha, nah. Iringi aku . Kita ka anu raja!” Urang tuha tuti manarik tangan Gariwai.
Raja himung banar batamuan Gariwai. Dibawanya Gariwai ka kaguringan anaknya. Gariwai malihat, kacukingan ha tumbaknya di tamping burit putri raja tuti. Tumbak pusaka barian Abahnya.
“Han, liat... Anakku nia matan kamarian tadi manangis haja. Maarit sakit. Napang, tumbak ti tatajak di awaknya. Dua-talu ikung hudah nang handak mancabut tumbak tuti, kada hingkat! Harung banar aku maliat. Amunnya kawa mancabut, ikam kuambil minantu!” jar raja.
Mandangar ujar raja tuti, napang ada, pada kada katikuan ha lihum Gariwai.
“Inggih, Paduka ai. Tagal, ulun ada sarat...” Gariwai pinda musti banar. Pantar nang kaya panambaan babanaran.
“Napang ti, saratnya? Sambat ha.”
“Damia, Paduka ai. Asa: siapakan kain hirang tujuh lambar, panjang asing-asingnya tujuh dapa. Dua: bumbung haur, satatak. Talu: siapakan gamalan wan nayaganya. Nang kaampat: siapakan kapur kinangan wan kumpai maling.”
“Tuti haja ah?” Raja takurihing takang.
“Inggih, tuti haja. Wayah ulun batatamba kaina, bunyiakan gamalan hangkui-hangkui. Hampai ulun tuntung batatamba,” jar Gariwai, pinda ahli banar.
Kada lawas, sarat nang dipinta Gariwai hudah ada. Gamalan, nang kakaya babun, sarun, agung, kangsi, sarunai, dibunyiakan nayaganya saling hangkuian. Nang kaya urang badamuluk, ha. Kadada nang hingkat malihat Gariwai batatamba. Napang, wadahnya batukup tujuh lapis kain hirang!
Dicabutnya tumbak nang tatajak di tamping burit putri raja tuti. Putri raja bakancahung, kasakitan. Tagal, suaranya kalah wan suara gamalan nang hangkui banar. Kuriak papar putri raja, kadada nang mandangarnya!
Luka di awak putri raja dikasainya wan kumpai maling, bacampur kapur kinangan. Putri raja hinip. Kada sing bunyian lagi. Nang kaya mambuang kalimpanan, ampih sakit. Lihum bapair ha putri raja ti ka anu Gariwai. Ubuuui... Galudupan hati Gariwai. Napang, nang lihum ti liwar langkarnya!
 Ngarannya gin putri raja, jar Gariwai dalam hati. Tumbak pusaka barian Abahnya disimpannya dalam bumbung panjang babungkus kain hirang. Batatambaan, tuntung. Imbah malihat anaknya wagas, Raja takurihing kada sing rantian. Kahimungan.
Isuk arinya, istana rami kada sakira. Bakarasmin. Mangawinakan Gariwai wan putri raja. Gariwai liwar himungnya, nang kaya kaguguran indaru. Inya kada ingat lagi wan Abahnya, kulawarga wan kabunnya di banua. Inya hidup nyaman di istana.

***

Gariwai kada ingat lagi, napa maka inya hampai tapabini di banua urang. Tapabini wan putri raja. Hudah babulan-bulan, batahun-tahun, maninggalakan kawitan wan kabun gumbilinya. Hudah baisian anak lalakian saikung.
Wayah manimang anak, kilir-kiliran banyu matanya. Kaganangan inya wan kawitannya nang lawas ditinggalakan, mahadang inya nang kadada bangsul. Balalu inya tapikir handak bulik ka banua.
“Aku handak bulik ka banua manjinguk Abah, Ding ai. Ikam umpat ha. Salajur manampaiakan anak kita.”
“Ayuha, Ka ai. Tagal, bapadah dahulu wan Abah,” jar bininya, maraih anak nang dikilik Gariwai.
Wayah tuti jua, Gariwai mandapati raja, mintuhanya.
“Aku akur haja. Bawa ha anak-bini ikam, tampaiakan wan kawitan. Tagal, aku ada sarat...”
“Napa saratnya, Paduka?”
“Sapanjangan jalan ampah bulik kaina, jangan bakaramput wan bini. Tuti haja saratnya.”
“Inggih. Sanggup, Paduka ai. Amun damintu, isuk baisukan kami tulakan,” Gariwai lihum bapair. Liwar himung, cagar batamuan kawitan wan kulawarganya.
Subuh bakabut ambun. Dingin mancucuk hinggan tulang. Burung-burung di rapun kayu karakicauan. Gariwai batalu baranak hudah di jalan nang dahulu dilaluinya. Gariwai bajalan pandahuluan, sambil mangilik anak. Bininya mairingi di balakang, sambil guguramai. Nangapa-nangapakah nang dirawanya. Ada haja nang ditakunakannya wan lakinya. Itulah, inilah. Gariwai maka am kada kasintakan hinak manjawapi.
“Tuti buah nangapang, Abahnya?” jar bini Gariwai, manunjuk rapun hanau nang buahnya barundun-rundun.
Wayah handak manyahuti, batis Gariwai takait bilaran. Parak tajarungkup. Untung tangannya sawat bacakut di rapun kayu. Wayah tamandak ti, manyahut ai inya, satatayuhnya, “Buah timbatu. Umpan babi!”
Imbah Gariwai baucap, saitu-saini bininya nang bungas langkar tuti ubah, baikungan jadi babi! Damintu jua anaknya, jadi anak babi! Anak babi tuti malacung pada awak Gariwai, bukah mancincing, sing lajuan, mairingi umanya masuk ka hutanan!
Napang ada, pada tadangkak ha Gariwai.
Hanyar inya ingat. Tadi inya mangaramputi bininya. Buah hanau, nang masi disambat timbatu, dipadahakannya umpan babi. Padahal, timbatu ti umpan musang. Gariwai talanggar pamantang. Talanggar pasan raja.
Imbahnya ti, di hunjuran Maratus, amun ada babi nang pinda akalan, warga sabarataan yakin, tuti juriat Datung Gariwai...[]

Kandangan, 5 November 2010



Nini Urut wan Janar 
Iwan Yusi

MATAHARI hanyar tinggalam. Langit di atas padang gatah, habang: nyarak, nang kaya buah tampurikak masak. Jar urang, tuti alamat isuk cagar panas ari. Tatinggal umbayang rapun kayu ganal, mangadap, malukupi kampung-kampung di hunjur Maratus.
Jangkrik, bilalang, galang-galang, babunyi karirikan. Angin gunung batiup gamat. Pantar manyuruh urang kampung guringan, imbah saarianan bagawi, bacari gasan anak-bini.
Ning Urut malikit lampu damar. Cahayanya maliuk-liuk ditampur angin nang masuk di sasala tawing palupuh nang japuk.
“Tuk tuk tuk!“ Bunyi lawang dikatuk urang.
Badadas Ning Urut mambukai lawang. Muntungnya kiul-kiul mamamah sirih kinangan. Imbah lawang dibuka, di palatar ada dua ikung kakanakan, pantar badua baading.
“Napang, Cu?” Ning Urut takurihing di rarawaian umbayang sanja.
“Uma kami garing. Kawalah hampian mandatangiakan? Maurutakan,” nang taganal baucap. Pindanya nang kaka.
“Iyih, Ning ai. Tulungiakan,” nang tahalus umpat jua bapandir.
Ning Urut takurihing, maiyihakan. Napang, paurutan ti dasar gawian hidin tumatan bahari. Kada suwah hidin manampik urang nang datang. Paribasanya, biar awak ngangal gin, dihakuni hidin haja.
Kada sakali dua hidin handak manampik hajat urang. Tagal, saban kalian jua hidin kaingatan wan janji hidin saurang. Janji nang maulah hidin jadi paurutan.

***

Hudah talung puluh tahun. Wayah hidin anum. Wayah masih bigas. Urang manggalari hidin Galuh Bungas. Muha hidin bahari ti dasar liwar bungasnya.
Wayah tuti, Galuh Bungas bamimpi didatangi urang tuha bajanggut putih, bajubah  saraba putih. Urang tuha tuti mambawa tulang rangka manusia nang rahai. Tulang rangka tuti diandaknya di hadapan Galuh Bungas. Disuruhnya Galuh Bungas manyambung tulang rangka tuti, tumatan kapala, hampai batis.
Pantar ada nang manuduhi, Galuh Bungas bisa manyambung tulang rangka tuti. Kada tasalah. Kadada nang tapahurup!
“Nah, tumatan wayah nia, ikam, Galuh ai, jadi paurutan. Amun ada nang datang minta urut, jangan ditampik...”
Imbah urang tuha tuti tuntung bapasan, Galuh Bungas takijat. Tabangun. Inya diamanati urang gaip. Tumatan ari tuti, Galuh Bungas rahat dikiau, atawa didatangi, urang nang handak baurut.

***

Ari sasain kadap. Angin sasain dingin.
“Di manang rumah ikam, Cu?” Ning Urut batakun, pinda aasaan. Handak tahu, saapa jauhnya rumah nang cagar didatangi?
“Kikira dua buku gunung, saku, ada pang, Ning ai, tumatan sia,” nang ading manunjuk ampah matahari pajah.
Mandangar jawapan kakanak tuti, Ning Urut tacaragal. Napang, saingat hidin asa kadada rumah sabuah-buah di situ ti. Nang ada, hinggannya hutanan danglu. Sabat kada sakira. Hibak rapun kayu, paring, haur, hanau, wan gatah. Cuali bubuhan nang bagarit pilanduk, atawa urang bacari sarang wanyi, kadada nang waninya ka situ ti.
Sambil mamuruk tapih kurung, pikiran Ning Urut asa kada kakaruan. Asa dikaramputi kakanakan, ada jua, amun hakun bajuuk ka hutanan ti. Hidin tahu banar, di situ ti kadada rumah sabuah-buah! Tagal, tahu am, pulang, amun ada nang hanyar batajak.
“Ayuha, Cu ai. Kita tulakan, kaina kalu hujan,” ujar Ning Urut. Imbah anu tangan kanan hidin mambujurakan kakamban nang takirap ditampur angin. Di tangan kiwa, bakul wadah pakakas manginang, nang kaya sirih, kapur, gambir, pinang, wan kacip.
Lawas jua Ning Urut wan kakanak nang badua tuti bajalan di bawah hindau bulan. Bajurut di sasala rapun paring nang daunnya jurambaan ka jalan. Kikira imbah Isya, hanyar hampai. Ning Urut asa panat lintuhut. Tagal, kakanak nang badua tuti pinda kadada uyuhnya.
Ning Urut takijat wayah hampai di halaman rumah nang liwar ganalnya. Nang hidin tahu, di situ ti kadada rumah. Tagal, di hadapannya mahunggang rumah. Ulin sabukuan. Saling ganalan!
Asa parcaya kada parcaya, hidin bakitar. Mamaraki palatar. Dijapai hidin tihang palatar. Dikibit hidin pagalangan tangan. Sakit. “Aku kada bamimpi. Dasar rumah bubujuran.”
“Naik, Ning!” jar kakanak nang taganal, mambukaakan lawang nang pindanya kada basunduk.
Ning Urut mangalunyur masuk. Papalingau, kapulingaan, maitihi pakakas rumah nang harat banar.
“Masuk ha, Ning ai. Ka kamar. Uma di dalam. Hidin kada hingkat bajalan. Batis hidin bangkak,” jar nang ading.
Ning Urut masuk. Dalam kamar, barabahan ha, di tilam nang kandal, kawitan kakanak ti. “Napang ti, nang diarit?” jar hidin, sambil maandak bakul kinangan di lantai.
“Anu, Ning ai... Batis kanan, bangkak. Asa tasalihu. Sakit banar mun dijajakakan,” sahut bibinian tuti, kukuringis muha maarit sakit.
“Bakas nangapang, ti?”
“Bakas... Cah, cakada mambadai wan nang digawi, Ning ai.”
“Napang hi, nang kada mambadai tuti?”
“Batanam janar. Gasan anak cucu.”
“Umai, alah, alang-alangnya bakabun. Saapang jua hasilnya? Jaka bakabun tiwadak, kapul, langsat, atawa asam kasturi, kawa gasan anak cucu. Amunnya janar ti, kada kawa dimakan-makan!” Ning Urut manyahuti, sapalih manuduhi. Asa bujur banar hudah. Nang dipadahi, takurihing haja, kada manyahuti.
Ning Urut maurut batis bibinian tuti wan minyak lala, sambil mangicak sirih kinang. Bibir hidin habang mancararak. Satutumat, baludah ka pakucuran nang diandak di higa awak. Nang diurut maka am, tapajam tabuncalak, satutumat taakai, taaduh, kukuringis maarit sakit.
Kada saapa, Ning Urut bamandak. Bibinian tuti pinda nyaman, pinda bamula wagas. Pinda ampih tasalihu.
“Jaka bamalam ha, Ning ai. Sarana bulik. Ari landung banar hudah.”
“Tarima kasih, Luh ai. Nang dudi haja gin, baasa. Amun hudah tahu manuju ti, kaina nyaman haja baastilah bamalam,” Ning Urut manyahut, tapuntal-puntal. Napang, muntung kiul-kiul, mangicak sirih kinangan.
“Napang, Ning...? Kada baasanan jua, kalu, di rumah?”
“Kada mun baasanan. Tagal, isuk ti aku handak basawat ka pasar. Handak batutukar, saraba saikit,” Ning Urut manyimpuni daun sirih, kacip, pinang, kukuit kapur, ka dalam bakul.
“Amun damintu ti, ayuha. Tarima kasih banar hampian hakun ka mari,” jar bibinian tuti, lihum, mangangajahakan duit nang masih mangarapak, pitung lambar, ka tangan Ning Urut.
“Umai, alah, Luh... Kababanyakan!” Ning Urut kahimungan, manyambut duit nang masih hanyar. Satumbangan jadi paurutan, kada suwah hidin dibari urang duit mamitung lambar.
Imbah tuti, ampun rumah maunjuki pulang bungkusan daun pisang, wan janar, ka Ning Urut.
“Umai, Luh... Nangapang nia?!” Ning Urut manyalungkuiakan kakamban ka kapala.
“Cah, wajik banar ai, Ning ai. Wan janar, pitung himpil. Amun wajik ti, tamakan haja kaina di rumah. Ada janar ti, kalu ai kaina handak batatanam di hihiga rumah.”
“Uh... Amun wajik, aku katuju banar. Lawas kada tamakan wajik,” Ning Urut lihum, balalu manyuap mandua-talu himpil wadai wajik tuti ka muntung. “Tagal, janar niti, cakada usah ah! Mambarati bakul haja! Aku banyak haja batanaman janar di higa rumah!”
“Umai? Bawa ha, Ning ai. Janar ulun niti lain pada janar hampian,” Bibinian tuti mangangajahakan pitung himpil janar ka tangan Ning Urut.
“Umai... Cakada jua ah, kalu? Nang ngaran janar ti, tatap ai janar. Sama am tia kuning jua,” jar Ning Urut pinda baruya. “Tagal... Ayuha, nah. Pamali manampik barian urang. Nah, lah? Kuambil sahimpil. Tandanya aku suwah bailang ka mari,” Hidin mangasak himpilan janar ka sasala sirih, dalam bakul.
Nang ampun rumah takurihing malihat Ning Urut manampik dibari janar babanyak.
Ning Urut turun ka palatar. Bajalan bulik saurangan. Untung langit ampih kadap. Asa hampul limbai tangan hidin bulik di hindau bulan nang sasaluan. Napang, pitung lambar duit tuti mayu gasan manukar tapih kurung dua lambar!
Sapanjang jalan, Ning Urut asa lapang hinak. Kada nang kaya pamaraan tadi. Hidin himung kada sakira, kawa manulungi urang. Apalagi amun nang ditulungi, himung jua.

***

Landung malam, hanyar Ning Urut hampai rumah. Langsung taguring, saling janakan. Paribasanya, jaka ditimbai urang ka banyu gin, kada marasa.
Baisukan ari, Ning Urut bangun talandung pada nang masi. Tagal, hidin tatap handak ka pasar. Sabaluman ka pasar, hidin kaganangan wajik, duit, wan janar di bakul panginangan. Napang ada, diungkai hidin ai.
Wayah maugai, Ning Urut takalimpapak! Duit nang malam tadi mangarapak, ubah jadi pitung lambar daun gatah karing! Ada wadai wajik tuti, hiii, jadi tahi warik! Ning Urut mamicik hidung. Saitu-saini, manjaluak. Handak muak! Hidin kaingatan, malam tadi banyak banar mamakan wajik tuti!
Ning Urut manating janar nang sahimpil: mancurarat, kacilangan tahindau matahari. Janar tuti ubah jadi amas! Manguning, saling langkaran!
Ning Urut taduduk. Mahingal. Sarik bacampur himung. Sarik, tamakan tahi warik. Himung, dapat amas babungkah! Hidin kisahakan sabarataan ka warga nang ada di higa-mahiga rumah. Balalu, kampung tuti rami didatangi urang nang handak mandulang. Kampung tuti ngarannya Kampung Pandulangan.[]

Kandangan, 12 November 2010



Datu Kandangan wan Datu Kartamina
Iwan Yusi

ALHAMDULILLAH.... Han, barakat cangkal, hampai jua hampian ka mari,” jar Datu Kartamina sambil manyalami Datu Kandangan di muhara lawang. Nang badua tuti baragapan. Nang kaya dangsanak nang lawas kada batamuan.
“Iya am, Dangsanak ai. Biar bajajauhan, amunnya tabawa hati nang dandaman ti, hampai haja. Paribasanya, biar dua talu buku gunung gin, tadatangi haja. Siwil banar. Baya matan Kandangan ka Kalua ni ha,” Datu Kandangan hangkui manyahut, pinda kancang urat gulu, sambil mangalakak.
 “Kaluarakan ha, Umanya ai, cangkaruk, tapai baras, ulin-ulin... Apamkah jua, amunnya ada!” ujar Datu Kandangan bagaya. Salajur maharap ai jua.
Bini Datu Kartamina lihum bapair mandangar Datu Kandangan nang dasar katuju bagaya tuti. Balakas hidin ka padu. Napang ada, abut ai hidin malayani kawal laki nang datang bailang.
Ada nang badua tuti, asik ai dudukan. Basila di tikar purun, di ambin tangah. Mahadapi saraba macam wadai, sambil pandir marudai. Kisah banih di pahumaan: tumatan taradak, lacakan, hampai kisah bakulih banih nang bakalumpu, bakindai.
Lain pulang Datu Kartamina. Nang disurung hidin kisah mamulut burung balibis, maiwak, maitik, maayam tikar purun, hampai hadangan kalang.
Marudai bilang kadada habisnya. Bilang kada kasintakan hinak. Imbah anu, mangalakak tatawaan. Asa rami banar ti pang. Ngarannya gin lawas kada batamuan. Kada karasaan, parak tangah ari. Napang, matahari hudah cagat di atas bubungan.
Di padu, kadangaran bunyi cangkir tahantup piring. Cagat talinga Datu Kandangan mandangar. Imbah tuti, malingut ha pulang bau iwak wadi wan iwak samu basanga. Napang ada, pada kacar ha hidin. Kakaluruk parut. Lapar.
Kada lawas, bakiau bini Datu Kartamina tumatan padu, “Ayu, Abahnya! Bawai Datu Kandangan ka mari. Makanan dahulu! Kaina pulang disambung, amun parut hudah kanyang.”
Parut lapar. Pas ada nang mambawai makanan. Pada tatumbuk ha. Gangannya, paku batahi lala ha pulang. Umai, pas banar wan liur Datu Kandangan, nang katuju gangan paku! Napang ada, pada gancang banar ha hidin makan.
Tuntung makanan, Datu Kartamina wan Datu Kandangan bapacul baju, kahumapan. Imbah tuti, pada tahunui ha lagi nang badua tuti duduk di palatar anjung, marasaakan angin nang datang matan pahumaan.
“Parut kanyang, nang dipandirakan asa habis hudah... Mamagat kalimah ai, Dangsanak ai, nah. Minta rila banar disurungi wadai, dibari makani. Handak bulik ai, nah,” jar Datu Kandangan, mamuruk baju, manyalami Datu Kartamina.
“Dintu, lih? Ayu ai, amun damintu. Nang dudi, amun ka sia, bamalam, Dangsanak ai,” jar Datu Kartamina sambil maatar ka palatar. “Amun kada aur, ada haja kaina aku bailang ka Kandangan.”
“Iyih! Bailang, Dangsanak ai. Tatalu bulan lagi langsat wan tiwadak masakan. Bailang ha,” jar Datu Kandangan sambil malangkah watun.
Babaya bajajak di anak tangga nang pamulaan, Datu Kandangan takijat kada sakira. Ada buhaya! Saling ganalan! Bangangaan! Mahadang di bawah tangga! Handak manungap!
“Hau?? Buhayaaa...!” Datu Kandangan takuriak. Takalimpapak. Napang, buhayanya bapuluh-puluh! Kundayapan di halaman rumah Datu Kartamina. Taringnya marihing. Curing-curing. Nang kaya handak mangarakah Datu Kandangan!
Datu Kartamina lihum malihat Datu Kandangan. Lakas hidin turun ka halaman. Ditatingakannya tangan ka buhaya-buhaya tuti. Saitu-saini, buhaya-buhaya tuti hilang! Gaip! Saikung-ikung, kadada lagi. Tatinggal palapah nyiur wara, nang dijamur bini Datu Kartamina di halaman, gasan kayu bamasak.
Datu Kandangan takurihing, kasisipuan, digawi kawalnya nang bainguan buhaya panjadian tuti.
“Kada papa, Dangsanak ai! Turun ha,” jar Datu Kartamina, kahimungan imbah manampaiakan ilmunya.
Datu Kandangan turun ka watun, “Ilangi aku, Dangsanak ai! Tatalu bulan lagi langsat wan tiwadak masakan!” Sambil lihum, hidin turun malangkah watun. Hidin hudah kada tamakan habar lagi. Kawalnya tuti dasar bainguan buhaya panjadian. Asa tapakalah, ada jua pang. 
“Kaina aku ka sana, Dangsanak ai. Aku katuju banar langsat wan tiwadak. Hadangi ha. Kaina aku bailang. Tagal, buhayaku kada usah dibawa, kalu?” Datu Kartamina tatawa mangalangkang.

***

Ari baganti. Kada karasaan, hudah talu bulan. Langsat manguning. Tiwadak masakan. Langsat ruku, langsat banar, kada kapicikan. Guguduh tiwadak, kada kasangaan.  Kulitnya diulah mandai.
Nang kaya janji hidin, Datu Kartamina datang bailang. Datu Kandangan himung diilangi. Bini Datu Kandangan abut bamamasak di padu. Datu Kandangan wan kawalnya rami bapandiran. Imbah anu, tatawaan. Sambil mamicik langsat, manguyak tiwadak masak, di palatar.
“Kaluarakan ha, Umanya ai, lamang, apam, dudul, dulinat, cinul baras, cindul sagu... Jangan langsat haja, kaina padih parut! Jangan tiwadak haja, kaina kapanasan awak!” Datu Kandangan mamadahi nang bini.
Datu Kartamina lihum. Himung disurungi macam-macam. Kada lawas, tacium harum bau gangan katupat. Mancikuk hidin. Kacar. Parut hidin sasain lapar. Lawan jua, ari sudah landung banar.
“Uuui, Abahnya! Makanan dahulu, nah!” Bini Datu Kandangan bakiau tumatan padu. “Nia, nih... Ada katupat baiwak, gangan paku batahi lala, gangan gadang pisang wan kaladi.”
Datu Kartamina wan Datu Kandangan duduk basila di tikar purun, mahadapi dua- talu macam gangan. Imbah makan katupat bakuah, Datu Kartamina mangaut nasi, mangaut gangan pisang gadang wan kaladi. Gancang ti pang hidin makan. Tang nangapakah, hidin handak jua marasani gangan paku. Tagal, babaya maitihi gangan nang ada di piring ganal, hidin takijat. Dimapa tia kada takijat? Dasar paku banaran. Paku wasi!
“Hau?! Amun gangan nang kaya nia, aku cakada mamakan am...,” Datu Kartamina pinda kalas muha. Pucat ka tahi-tahi.
“Kada papa, Dangsanak ai. Niti, liwar nyamannya!” Datu Kandangan manyuap gangan paku tuti. “Cubai ha. Rasani. Runyuh banar! Nang kaya gangan paku ulahan bini ikam samalam, tih.”
Malihat Datu Kandangan pinda nyaman banar makan gangan paku, umpat ai jua Datu Kartamina manyuap. Dasar nyaman sakalinya, jar Datu Kartamina dalam hati. Balalu hidin bahimat mangipung. Habis sapiring ganal. Mantagum. Mariga. Lihum Datu Kandangan malihat.
Imbah tangah ari, Datu Kartamina bapadah handak bulik ka Kalua. Napang, hudah batangah arianan pang bailang. Nang dipandirakan, asa habis hudah. Parut, kanyang. Bakisahan, batatawaan, hudah tuhuk. Hutang janji bailang, punah hudah.
“Amun parut hudah kanyang ti, tasarah ai lagi. Ikam handak bulik, aku kada kawa manangati. Tagal, amun hakun bamalam, aku himung banar,” jar Datu Kandangan.
“Ayuha, tarima kasih banar dahulu, nah. Nang dudi haja gin. Kaina baasa.“
“Amun nang kaya tuti, ayu ai. Ni, nah, bawa langsat wan tiwadak. Gasan anak-bini di rumah,” Datu Kandangan maunjuk bakul purun ka Datu Kartamina.
Babaya malangkah watun, Datu Kartamina taduduk. Mamicik parut.
“Aduuuuuh… Aduuuuh…. Tuluuuung...!”
“Nangapa, Dangsanak?”
“Asa ada nang mancucuk-cucuk di parutku! Niti kada parigal ikam mangarasakan paku nang kumakan tadi, kalu?” Datu Kartamina kukuringis kasakitan, maingkuti parut.
Datu Kandangan lihum. Ditating hidin tangan ka parut Datu Kartamina. Nang kaya mambuang kalimpanan, saitu-saini Datu Kartamina ampih sakit parut.
Datu Kartamina mangalunyur bulik. Kada tatahu lagi. Mambawa bakul baisi langsat wan tiwadak.[]

Kandangan, 15 November 2010



Tukang si Sa`ad Sado
Iwan Yusi
           
PANAS ari manggantang. Sa`ad Sado maayun balayung, manarah rapun kayu maranti. Imbah anu, inya maniring, maatirat, ka rapun kayu. Panjangnya kada kurang pada pitung dapa. Ganalnya kada kurang pada saparagapan urang tuha. Imbah anu, inya mamusut paluh nang lilihan, nang kakaya bigi jagung ganalnya. Napang mun bagawian di siang panas ti, kada tasasalindung pupuhanan ha pulang.
Batukang baulah rumah atawa balai ti dasar gawian Sa`ad Sado, tumatan di kawitan. Ngarannya gin anak tukang. Maka kada sahibar tutukangan, tagal tukang nang harat babanaran. Banyak sudah rumah nang diulahnya. Urang katuju banar wan gawian Sa`ad Sado. Banaran bagus pang. Inya dasar ahli manarah, maukir. Tuti am jadi inya disuruh maulah tihang balai, nang gasan urang banyak, nang andakannya di tangah kampung.
Batangah arianan inya manarah batang maranti tuti. Tiring-maniring. Atirat maatirat. Makanya am, ukuran wan ukirannya musti nang paling baik. Daham diwada urang. Sakira nahap. Nyaman dilihat.
“Cah, Sa`ad... Napang ti bahimat-himat maatirat, maniring? Imbah ditarah, lakas am tuntung!” jar urang nang lalu, marawa sambil baruya.
“Uuu, cakada babarang haja ah,” Sa`ad Sado manyahuti. “Amun kada baik, kaina diwada urang. Aku jua nang supannya,” jarnya pulang. Inya marasa tukang nang paharatnya pang.
Ari sasain landung. Tagal, tang nangapakah, maka sasain babanyak nang datangan, malihati Sa`ad Sado bagawian. Rami urang mamandirakannya. Ada nang maambung. Ada nang umpat maatirat. Ada jua nang baruya. Satutumat, tatawaan. Sa`ad Sado maka am, asa dihauri bagawian. Asa tasinggung jua inya.
“Tuti sadang hudah, Sa`ad ai! Kaina kahalusan!” ujar nang badiri, bakacak pinggang.
“Iyih! Sadang haja, tuti!” jar nang saikung pulang, mauyahi.
Sa`ad Sado, ranai. Kada sing bunyian. Jangan babunyi. Bauling haja gin, kada. Inya garigitan banar dituduhi nang kaya tuti.
Kada lawas, ada pulang nang baucap: “Naaah... Amunnya gasan tihang, tuti kahalusan! Tihang tangah tuti musti ganal, sakira nahap!”
Dituduhi nang kaya tuti, Sa`ad Sado sasain pusang. Muhanya habang. Kada karuan lagi bagawian. Sarik. Tihang tuti tarus haja ditarahnya. Kada baatirat. Kada baitung lagi. Balayung ditungkihakannya tatarusan. Imbahnya, batang kayu nang ganalnya saparagapan urang tuha tuti,  bahalus, tatinggal sapagalangan kakanakan.
Urang banyak nang tumatan tadi malihati Sa`ad  Sado bagawian, tabalik sarik. Ada nang maulu-ulu, mahapaki, mawada, mangulibii, balalu manawaakan.
“Napang tia jadi kahalusan? Cakada kawa gasan tihang! Napang ti, kada maasi dituduhi?” jar nang lain pulang, maniwas.
“Ulah gasan kukuit kapur ha, ranai! Unjuk anu aku!” jar bibinian nang tatuha, sambil mangicak sirih kinang, imbah anu manyamburakan kucur wan sapah ka Sa`ad  Sado.
Badarau urang tatawaan. Napang ada, pada habang-hirang ha muha Sa`ad Sado. Supan ganal inya.
Nangapakah, maka urang sakampungan muaran wan inya. Imbahnya, ada saikung nang baparak. Bajungging burit. Mangantuti! Mandingur bau buruk. Imbah tuti, baparak pulang saikung. Mangantuti pulang! Hingganya bapuluh-puluh, hampai baratus ikung, nang mangantuti Sa`ad Sado!
Napang ada, awak Sa`ad Sado saikungan bau kantut! Dahulu inya diambung urang, niti diwada. Dikantuti urang sakampungan. Asa kada bamuha lagi inya.

***


Imbah tuti, Sa`ad Sado rahat taungut di tabing sungai nang banyunya ulak, dalam, lupung pananjak. Urang kampung manyambatnya “taluk”.
Dua-talu ari Sa`ad Sado taungut. Nangkaya tagantar. Liwar pusang.
Wayah ari bamula kadap, inya badiri di tabing sungai.
Buuuuuuuurrrrrr... !!!
Sa`ad Sado bacabur ka banyu lanak.
Napang ada, pada tinggalam batu ha awaknya.
Tagal, di banyu ulak tuti tang bangsul ha satua nang pinda lucu. Binatang tuti diulai banyu ulak, bakunyung ka tabing, naik ka darat, balalu hilang di padang sabat.
Jar urang kampung nang sawat malihat, awak satua tuti ganalnya kikira nang kaya kucing. Buntut wan batisnya handap. Babalang kuning. Basirit hirang, di balukuk. Parigalnya, pantar babi. Amun bajalan, sasarudup, manjujuh ka tanah, bacari cacing. Wayah malam malam, hanyar inya kaluar.
Urang kampung manangguh, satua tuti iya Sa`ad Sado. Marganya, amun siang, inya kada wani kaluar. Supan batamuan manusia. Wayah malam, hanyar inya kukundayap, mambulangkir tanah. Bacari cacing, gasan dimakan.
Nang maulah urang kampung muar, wayah batamuan manusia, satua tuti musti bakantut! Baunya, liwar ti pang! Bau pada hintalu tambuk! Amun kana di baju, ditapih, baunya marikit. Dua-talu ari, hanyar hilang!
Jar urang, satua pangantutan tuti handak mambalas, mangantuti urang kampung nang dahulu mangantutinya.
Imbah tuti, kampung nang ada sungai bataluk babanyu ulak tuti dingarani urang Taluk Sado. Kahancapan manyambat, kalu ah, pandangarnya nang kaya Luksado.
“Handak ka manang tih?”
“Handak ka Luksado.”
Balalu, marikit ai kampung tuti bangaran Luksado.[]

Kandangan, 29 November 2010



Datu Balan
Hardiansyah Asmail

MATAHARI hanyar bangsul baisukan ti. Cahayanya habang. Nyarak mancirarak, nangkaya kucur kinangan. Urang sakampungan, galu! Kindai pambakal, kamalingan! Kindai nang saling ganalan, maka kawa dicuntan maling. Urang kampung, nang di hulu, nang di hilir, takumpulan mamandirakan.
Kampung Tambak Pipii tuti saumuran kada suwah kamalingan. Banua tuti, makmur. Tanahnya subur. Nangapa haja nang ditanam, hidup. Pambakalnya gin, tamasuk nang bapakai.
”Umai... Badimapa, lih, maling tuti, maka kawa maangkat kindai nang saling ganalan?!”
”Baarti gancang, lah ai, malingnya?!” Urang kampung gagarunum.
”Iyih! Musti haja ah gancang! Wani. Sarabanya am!” Bubuhan bibinian umpat jua marudai.
”Iya am! Nang ngaran maling ti, anu ai, ampun urang haja nang dipikirakannya!” jar nang saikung pulang, manyahuti.
”Dilihat lapak batisnya, maling tuti pindanya saurangan haja,” jar nang taanum.
”Hau? Dimapa inya maangkat?”
”Tahu am. Tagal, lapak batisnya saikung haja.”
”Malingnya saikung haja. Kindai ti dasar diangkatnya saurangan!” Pambakal basuara.
”Umai! Baarti, gancang banar, lah ai, maling tuti?!” Urang kampung sasain bingung.
”Kaina, malam, kita hintipakan. Kita saluk!” jar Pambakal, mambawai nang anum-anum. 
”Akur, Pambakal ai! Amun dapat, kita mati ha!”

***

Wayah tangah malam. Bulan salau-salau. Di hujung kampung, ada umbayang manusia nang bajalan. Saurangan. Awaknya panjang basar. Tinggi wan ganal-ganalnya! Dilihat parigal, pinda kadada nang ditakutaninya lalu.
Kada lawas, umbayang manusia tuti maungkai tali, malilitakan ka kindai. Sakali santak, dihambinnya kindai tuti. Pinda hampul ha. 
Pambakal wan urang kampung nang tumatan tadi mahintipakan, kaluaran.
 ”Siapang andika?!” Pambakal mangajuti, manating mandau.
”Datu Balan,” sahut si maling, kada takajut saikit-ikit. ”Ka pinggir. Aku handak lalu.”
”Jangan bacacuntan di kampung kami!”
Datu Balan tatawa mangalakak. ”Sanggup garang bubuhan ikam malawani aku?”
Anak buah pambakal nang satangah lusinan, tasinggung. Langsung amuk. Saitu-saini, mangarubuti. Ada nang mamangkung wan duri rukam, halatung, kayu kasau. Ada nang mariwas, manimpas Datu Balan wan parang.
Tagal, sakali haja tangan Datu Balan malambai, anak buah pambakal tahumpatingan! Kancahungan kasakitan. Tahambur. Rabahan. Balingsakan. Babintat-bintat. Babincul-bincul.
Malihat anak buahnya kukuringis, taduduk kasakitan, pambakal turun. Baadu suntul, baadu tinjakan, wan Datu Balan. Tagal, Pambakal tajungkang! Kana tinjak. Talukup di licak!
Malihat pambakal wan satangah lusin anak buahnya rabahan, Datu Balan tatawa mangalangkang. Sambil takurihing, dihanggungnya kindai cuntanannya.

***

Isuknya, pambakal tulak manukui gurunya, Datu Tapin. Pambakal bakisah wan Datu Tapin, nang inya wan satangah lusin warga kampung jingkar dihukumakan Datu Balan. Datu Tapin nahap mandangarakan, mandam, balalu mahaluwat.
”Datu Balan tuti harat wayah malam haja...,” jar Datu Tapin ka anu pambakal, imbah tuntung mahaluwat.
”Dintu, lih?”
”Iyih. Kaina aku nang mahadapinya.”
”Amun damintu, tarima kasih banar,” jar pambakal, balalu bangsul ka Kampung Batu Laki, mambawa Datu Tapin.
Wayah ari malam. Langit kadap. Maram. Pas banar nang kaya kahandak Datu Balan. Inya bajalan kuliling kampung, mancari kindai nang hibak banihnya. Tagal, kada talihat sabubuting. Nang ada, kindai basiring kayu ulin, nang pangganalnya. Malihat kindai tuti, Datu Balan takurihing. Langsung dililitakannya tali, handak mahambin. Uuuppp...! Kada taangkat!
Karimut-karimut muntung Datu Balan bamamang. Kada taangkat jua! Manggah-mukuh inya. Kawa taangkat saikit. Tagal, nang ngaran kababaratan, jalannya gimit.
Datu Tapin nang matan hintadi mahintipakan Datu Balan, balalu ka luar pada rumah pambakal, wadahnya bamalam. Basunyian, diiringinya Datu Balan. Bunyi batis Datu Tapin, hampai ka kuping Datu Balan nang sakti. Mandangar bunyi batis, Datu Balan cangang ka balakang. Dua-talu kali inya maningau, tagal kadada siapa-siapa.
”Uiii...! Jangan bagaya!” Datu Balan bakuriak. ”Amun wani, ka luar! Hadapi aku! Nih, Datu Balan, nang tahan apilan!”
Datu Tapin bakuhup di garunggang rapun tarap. Dilihatakannya Datu Balan amuk. Gagarunum. Pinik saurangan. Kapulingaan. Nang ngaran kasasarikan, napa haja nang ada di higanya, disipakinya! Rapun kayu. Batu. Balambika. Sabarataan, tahambur! Tabulangkir!
Datu Tapin singhaja malihatakan Datu Balan amuk saurangan, nang kaya minyak lala manggurak.
”Uiii...! Dintu haja ah Datu Balan nang jar urang sakti ti? Mancarii urang nang basimpan haja, kada kawa. Cah!” Datu Tapin mahuhulut.
Kada karasaan, ari bamula tarang. Matahari cangul. Habang mancirarak. Datu Tapin mangaluar pada garunggang rapun tarap.
”Uh, alah... Uyuh jua hayamnya!” Datu Tapin mamahawai.
”Ikam handak kamirawaan, saku?!” Datu Balan liwar sarik.
”Cah!”
Datu Balan asa tapanasi. Sambil mahambin kindai, tangannya manyuntul muha Datu Tapin. Datu Tapin bauling saikit. Luput am. Barapa kali Datu Balan manyuntul, maninjak, saitu jua Datu Tapin manangkis, bauling, baliung. Bunyi pukulan Datu-Datu nang sama tia sakti ti, mantingus-tingus, nang kaya angin tutus. Wayah pukulan nang kaampat puluh, Datu Tapin kana suntul di dagu, tahumpating ka rapun hanau. Rapun hanau rabah, marabau.
”Han, tia! Marasa, maka tahu!” Datu Balan baagak.
Datu Tapin taakai taaduh maarit sakit. Datu Balan handak mailai pukulan pulang. Wayah tuti, pas matahari bangsul. Tang nangapakah ha, Datu Balan tajuramba ka tanah. Awaknya tatindih kindai nang dihambinnya!
Sasain lawas, sasain nyarak matahari, sasain siang ari. Awak Datu Balan sasain tinggalam tatindih kindai. Ayungannya, awaknya langlam dalam tanah. Mati. Tatindih kindai nang hibak batu wan kayu ulin tuti! 
Hampai wayah nia, tuyukan batu tuti masih ada. Amun diitihi, nang kaya gunung batu. Tuyukan batu ti bangaran Batu Kasiangan.[]



Datu Putih* 
M. Fuad Rahman (Kayla Untara)

Matahari hanyar basilak pintang rakun putih nang baurak tunggal gimitan. Baluman pukul lapan. Atanapi, di kantur pulisi Walanda nang parak kantur Tuan Kantulur, urang galu. Kumandan pulisi bamamai. Hangkui banar!
Nang bamamai tuti, Walanda putih. Babasa Walanda campur Malayu. Imbah anu, anak buahnya cakada paham, napa nang dimamaiakan. Kada saikung dua nang lihum. Marganya, kada paham sahama-hama. Bubuhannya ti Walanda hirang sabarataan. Tagal, malihat astul batajak di pinggang kumandannya, balalu ai baarit tatawa. Napa ha. Sindam. Sintup. Hinip. Maginnya imbah kumandannya batatapak mija. Pancat ka tahi-tahi tu pang bubuhannya.
Kumandan sarik. Liwar sarik. Tahabar: urang Kampung Parincahan handak malawan pamarintah! Bubuhan kampung tuti kada hakun lagi bayar pajak kapala, atawa pajak ilaran. Nang jadi huhuluagahnya, Pangirak. Makanya am, kumandan sarik kada sakira.
Imbah puas bamamai ka anu anak buahnya, kumandan balinjang tuju kantur Tuan Kantulur. Handak balapur, salajur mainta surat parintah batangkapan. Tagal, Tuan Kantulur tulak ka Banjar. Mandangar habar tuti, sasain pusang ai kumandan. Inya hapal banar, amun Tuan Kantulur ka Banjar, kada satutumat. Bisa baminggu-minggu, hanyar bangsul.
Habang-hirang muha kumandan wayah turun pada kantur Tuan Kantulur. Harung banar tupang. Balalu anak buahnya nang kana tumpalak. Kahandaknya ti, warga sabarataan, tuhakah, anumkah, lalakiankah, bibiniankah, tangkapi! Amun ada nang wani malawan, timbak!

*** 

Habar kumandan cagar maudar Kampung Parincahan tuti, hampai ka Pangirak. Habar nang Tuan Kantulur kadada di banua gin, hampai jua. Pangirak bapikir: sawat haja baatur, dimapa cara maalahakan Walanda.
Balalu Pangirak mangumpulakan urang kampung.
Bapahadring. Bapapadah. Bacucuk buku. Mancari akal. Surat parintah Tuan Kantulur nang kadada, maulah Pangirak wan urang kampung himung. Maakalani Walanda tuti, kada ngalih banar jua. Amun malihat parigal kumandan pulisi Walanda nang masi ganal kacuap pada iwaknya ti, pindanya cagaran manjing.
Akal Pangirak wan urang kampung, amun pintar banar ti, kada jua. Tagal, garataknya nang tagas, nang bisa maulah musuh katakutanan. Sakampungan, lalakian, bibinian, nang tuha, nang anum, hampai nang kakanakan, umpatan.
Di pinggir kampung, urang bahandip. Manabuk tanah. Baulah danau. Danaunya kada pang dalam, tagal luas. Ada jua nang baulah jamban, saling ganalan! Ganal pada jamban nang masi. Liwar ti pang ganalnya.
Pintang tabing danau nang diulah ti, ditajaki sarubung. Liwar jua ganalnya! Tihangnya, satumbang rapun pinang. Di tatangah sarubung, digantung ayunan nang jua liwar ganal!
Nang lain, ada nang manyiapakan minyak. Badrum-drum! Bapuluh-puluh banyaknya. Di subarang danau, bubuhan bibinian baatur jua. Maampar tikar purun. Di atasnya, dihamburi paku. Nang kaya masi urang malabang tuyukan banih.

***


Wayah urang kampung tuntung baatur, kumandan pulisi Walanda tuju ka Kampung Parincahan. Sanapang barujak, lading binit, kliwang, dibawa. Nang manuduhiakan jalan, urang Kampung Parincahan. Bubuhan Pangirak jua, nang singhaja dimasukakan. Lakun kisah jadi panghianat, han.
Kada saapa, bubuhan pulisi Walanda hampai tabing danau ulahan Pangirak wan urang kampung. Wayah malihat tuti, kumandan pulisi Walanda takipik! Takajut kada sakira. Napang, ada nang pinda ganjil, mambari takutan! Di subarang danau, ada sarubung nang saling ganalan. Di tangahnya, ada kakanakan bapukung di ayunan. Awaknya babalang putih. Nang asa mambari takutan, awaknya saling ganalan!
Di pintang tabing, ada labangan tuyukan paku di atas tikar purun. Ada pulang jamban, nang liwar ganalnya! Ganal pada rumah! Banyu danau ti jua, barau wan api!
Awak kumandan manggitir. Liwar katakutanan. Taduduk inya. Takamih-kamih. Anak buahnya taumpat jua, sindam kada sing bunyian.
Imbah asa lapang hinak, kumandan pulisi batakun ka anu urang kampung nang disuruh manuduhiakan jalan, tih. “Siapa... Siapa itu bayi besar yang di ayunan, ha?!” jarnya, kisah tagas.
“Nang dipukung itu, Tuan, anak Pangirak Parincahan…”
“Anaknya?! Lalu, bapaknya sebesar apa, ha?! Een, itu danau, kanapa bisa berapi?” Tapaluh liir kumandan pulisi Walanda wan anak buahnya.
Nang ditakuni, lihum bapair. “Itu dasarnya, kumandan ai. Banyu api ti pakai nginum, mandi, batatapas, wan bamasak warga di sia.”
“Ha?!” Kumandan takujingat. Takurisit hampai kalimut. “Kamu orang serius kalau bicara, ya?! Yang terapung di danau itu, apa, he? Een, paku-paku itu, buat apa?”
“Uuu, itu jamban, kumandan ai. Pakai urang kampung batatapas, bahira wan bakamih. Nah, amun paku ti, gasan pamakan ari-ari.”
Mandangar  tuti, kumandan pulisi Walanda wan anak buahnya liwar katakutanan. Manggatar sabarataan!
Balalu ai niat nang handak maudar warga Kampung Parincahan, batal. Kumandan pulisi wan anak buahnya bukahan mancincing ka tangsi. Kada ingat di burit kapala lagi. Disangkanya, warga kampung tuti bubuhan raksasa! Napang, awak anaknya haja saling ganalan!
Imbah bubuhan Walanda kada talihat lagi, hanyar urang kampung kaluaran. Tatawaan sabarataan. Kahimungan. Kawa maakali Walanda.
Nang bapukung babalang putih saawakan di ayunan tuti sakalinya Pangirak. Awaknya nang ganal wan tinggi basar dipupuri wan pupur basah. Hidin bagalar Datu Putih. Wayah mati, hidin dikubur di pintang ayunan ganal ti. Kuburannya ganal wan panjang-panjangnya. Baturnya bacat putih. Andaknya di Kampung Parincahan, wayah niti ngarannya Kampung Banyu Barau.[] 

***

* Sumber cerita: Ayahanda CH. Abadi, Kandangan. 


A n j a
Aliman Syahrani

IMAH takalimpapak! Bakalincuat saitu-saini. Hingak-hingak. Awak manggitir. Jimus paluh. Inya tailan, imbah tamimpi nang mambari takutan. Bakalimpusut. Bapuat. Mancugut di tubir ranjang, mangancang pinggang. Bahinak inya landang-landang. Dikucaknya bigi matanya, tagal hayabang mimpi tuti maguni haja maumpinak panjanak.
Angin wan dingin malam masuk di sasala tawing paring rumah kayu di unjut kampung tuti. Hancap Imah mambujurakan tapih di awak Andut, anaknya nang uncit, nang baluman ganap satahun. Andut manguliat satumat. Imbahnya, taguring pulang.
“Uma ai, Jambri,” Imah manggarunum. “Kanapa, alah, maka hampian kada bangsul?”
Di unjut kampung, kuncahung kuyuk lalawatan. Imah mahatiakan Jambri, lakinya. Burusihalah nangapa-nangapa. Ari hudah landung malam, tagal lakinya baluman bangsul jua.
Ada bunyi galutak di muka lawang. Bunyi urang mangatuk. Imah takijat. Matanya manyirit jam di tataban kancang tawing halat hapatan rumah. Tangah malam. Bakalimpuat inya.
Sukur am. Nang badiri di muhara lawang tuti, sakalinya lakinya.
“Umai, alah, Abahnya... Kalalandungan bulik!” jar Imah imbah mambukaakan lawang. “Kada ingat wan bini di rumah, saku!”
“Nangapa-ngapakah, Umanya nia. Rahat haja jua kalu ikam kutinggalakan sauranganan? Amun pamburisit ti, makan nangapa kita?”
“Amun kaina ulun disambunyiakan panjadian, marasa ti, Abahnya ai!” Imah maraju.
“Cah ai... Panjadian mana, alah, nang handak mancuntan biniku?” Jambri manggawil pinggang bininya wan tunjuk.
Imah galianan. Takurihing simpak. Himung pantul. “Daripada hampian kaanginan di luar, jaka bulik ha.”
“Akai, Umanya nia. Ikam ti dimapa,” Jambri mamacul kupiah, maandak ka tangkun di atas lalungkang. “Tahu haja, kalu, aku nia nang kaya kalalawar. Siang, guring. Malam, bacari. Amun siang guring, malam guring jua, urang mati ngarannya.”
“Di manang hampian bacari, ti? Tuti maksut ulun,” Imah bakalincuat ka dapur. Maulahakan kupi gasan nang laki.
“Hau? Barang ham. Di manakah. Di mana ada rajaki ai.”
“Han tia... Amun bapandir wan hampian, ulun kada hingkat manang. Kalah tarus!” Imah manukupi muntung wan tangan, maarit ngantuk.
“Hau? Kanapa maka sunyi banar? Ka manaan kakanakan?”
“Ubui, ubui... Kada ingatkah hampian? Niti malam Jumahat. Kakanakan mangajian, salajur bamalam di rumah Guru Manan.”
“Uh, iyih. Diparnumi haja. Tahun dihadap, umurku anam puluh.”
“Parnum banar ulun, nang hampian sasain mangalilu ti.”
Imbah manuntum kupi, Jambri duduk batatai bininya. Jariginya mancabut ruku, dilikit wan diisapnya.
Imah manjanaki lakinya. Jambri sasain tuuh. Lain banar wan bahari.
“Kadamia, Umanya ai...” Muha Jambri sasadi baubah ambak. Sandu bakut. “Kamarian hindati aku ka rumah kawitan ikam. Mandangani Abah banaik nyiur.”
“Imbah pang?” Imah manguap pulang.
“Dintu pang.”
“Uh... Abah wan Uma ti, wigas haja, kalu?”
“Dintu pang.”
“Dintu pang... Dimapang?”
“Anu... Di situ ti, ada musibah.”
“Musibah nangapang?” Imah takalimpapak. Lakas inya maragus. Duduk pulang. Kada jadi ka kamar.
“Kita ka sanaan ha, Umanya ai.”
“Hadang dahulu! Nangapa garang?”
“Lakasi ha,” Jambri balingkang ka tangkun di atas lalungkang, maambil kupiah. “Kita tulakan.”
Imah tanganga. Kada paham inya wan parigal lakinya nang pinda lain. Inya kaingatan mimpinya hindati. Tatap haja inya kada kawa maniku atirat. Hatinya lidup-lidup.
“Parninin, Abahnya ai!” jar Imah mingsul. Tangannya maruhut pagalangan lakinya. “Nangapa, garang? Musibah nangapa, alah? Kawitan ulun, anukah…?”
“Kaina ikam tahu haja jua. Lakasi ha.”
“Dimapa kakanakan?” Imah abut, pantar Cina kahilangan dacing. “Amun diambili, salajur kita bawa haja, dimapa?”
“Maraha kakanakan bamalam di rumah Guru Manan. Isuk baisukan haja diambili.”
Imah hakun haja tabi wan pandiran lakinya. Imbah manggalasira, inya balingkang ka kamar, mamuntal salimput. Dikiliknya nang anak. Balalu laki-bini tuti bajalan batis ka kampung subalah.
“Nangapa garang, Bah?” Imah batakun pulang.
“Aku kada dibariakan bakisah. Baik ikam saurang haja nang ka sana. Sakira kada tamakan habar,” Jambri manyahuti.
            Imbah tuti, Imah kada wani batakun lagi. Ranai burinik. Pantar bubut dicabut buntut. Angin malam mandisap di awak, satumbang jalan kipit nang dilalui. Manguracak hampai tulang isang. Bulan di langit malam, bakalubut maram.
“Sarana diungutakan, Umanya ai,“ jar Jambri sambil bajalan.
“Ulun kada taungut! Hampian pinda baparnum banar, pang,” Imah manumpalak. Muhanya bilut.
“Bawa badikir. Atanapi badindang ligun haja gin.”
“Kada, ah!” Muha Imah magin bilut. Bibir takulibi. “Hampian tih nang badindang ligun...”
“Kada hakun jua aku, amun ikam maraju ti,” Jambri sasain katuju manggayai nang bini. Inya tahu ai amun nang bini tuti piragahnya haja maraju. “Ayuha, nah, aku badindang ligun. Asal ikam ampih maraju...”

tarang bulan salau-salau
anja mati bajalan malam 

“Hau... Bah! Takutan ulun, nah!”
Tagal, Jambri pindanya kada mandangar, atanapi singhaja kada mandangarakan bininya. Inya tarus haja badindang ligun.
tarang bulan salau-salau
anja mati bajalan malam

“Ampih am, Abahnya!” Imah malincaui lingkang, ka higa awak nang laki. Tangannya pisit maruhut bahu Jambri. “Burit tundun asa marinjing, nah!”
Jambri kada manyahut. Inya sasain badadas. Tabulirit Imah di balakangnya. Angin malam mandirus kadap. Rabah rampiuh di rapun dadap.

***

            HAMPAI di halaman rumah kawitan Imah, ari parak subuh. Higa mahiga sunyi siip. Asa mambari takutan. Kada kurang pada pitung walas urang bagalumuk di palidangan rumah. Duduk bakuliling. Pinda ada nang dihadapi.
“Jin ha ikam masuk badahulu,” Jambri manyuruh nang bini. “Aku handak batampungas ka tagaian,” jarnya pulang. Kada salang mahadang sahutan bininya, Jambri badadas ka higa rumah.
Imah asa kada nyaman. Asa gair wan takutan. Mimpi nang kada baik tuti, kaingatan pulang. Burit tundunnya sasadi marinjing. Hiiihhh
Imah takijat malihat urang batahlil. Duduk basila, mahadapi nang bakalubut tapih bahalai panjang bakalir hirang. Dihindau satarungking nang digantung di sasala tawing, rumah jadi sasain mambari takutan.
“Sukur am ikam lakas datang, Mah ai,” jar Abah Imah. Suaranya garau. Muha sandu. Pipi basah, bakas banyu mata.
Urang hancap manyilak sila, mambari jalan gasan Imah.
“Anak ikam nang lain, manang ti? Kada dibawa ah?” Abah Imah batakun pulang, sambil balingkang ka tangah rumah.
“Singhaja kami tinggal,” ujar Imah galai. Inya maguni asa pinik. “Pihan tulak ka sia, kakanakan tulak mangaji, salajur bamalam di rumah Guru Manan.”
“Dintu, lih. Samsulnya pang, ka manang ti?”
“Samsul?” Imah takajut. “Satumbang jalan, kami kada batamuan siapa-siapa.”
“Kami? Kami siapang, hi?” Abah Imah liwar takajut. “Hindati, ading ikam Samsul tuti tulak saurangan haja. Inya Abah suruh maambili ikam wan anak-anak ikam."
Maambili? Hati Imah sasain kada karuan tampuh.
“Ulun hintadi badua laki ulun haja,” jar Imah, sasain mauk, sasain inyuk, sasain kada parnum.
“Ha? Wan laki ikam?”
“Nangapa garang, Bah?” Imah sasain marasa ada nang ganjil nang maumpinak kulawarganya.
“Basabar ai, Mah ai. Kamarian hintadi, Jambri mandangani aku mamutik nyiur. Kada disuruh kada. Kahandaknya saurang. Kami ti, napang ada. Katuju ai didangani. Aku tahu jua pang, inya dasar rajinan urangnya.” Abah Imah basisigan. Hingut-hingut mandirut hingus. “Imbah manutuh satingkil wastu, kada sawat tuntung sarapun, inya tagulimpas pindanya. Napang, rapun nyiur tuti lincar, kalu. Imbah hujan. Napang ada, mantabuk inya tagugur! Kuciak papar, saling hangkuian! Datangan urang sakampungan. Bahimat kami manulungi, tagal kada hingkat lagi. Saitu-saini inya…” Suara urang tuha tuti tasangkang. Hinaknya tapuntal. Hingusnya basumpal. Banyu matanya garabakan.
“Kamarian hindati aku ka rumah kawitan ikam. Mandangani Abah banaik nyiur.”
Pantar ada patir mangarakah awak Imah.
Inya takajut. Asa raum panjanak. Jantungnya lidup-lidup. Tajumpipir inya.
Asa kada parcaya, galitiran tangan Imah manyilak tapih bahalai hirang nang malunglup awak nang barabah kada sing garakan tuti. Dilihatnya muha lakinya nang kanyam, basah, pantar urang imbah batampungas.
“Jin ha ikam masuk badahulu. Aku handak batampungas ka tagaian.”
Imah takalimpapak!
Takajut kada sakira. Inya tanganga. Nang dikalumbuni tuti, sakalinya mayat lakinya!
Inya asa handak bakuriak. Tagal, rakungan asa bangkak. Cikak manyintak hinak. Lalawatan, didangarnya dindang ligun Jambri:

tarang bulan salau-salau
anja mati bajalan malam

Andut mailan di gindungan Imah. Tangisannya bingkas maracak malam. Di luar, hujan turun saling labatan. Mamapai malimbur daki, sampak lacit hampai ka hati...[]

Kandangan, 6 Desember 2010 


Calatun:
Kisah nang kadamia maguni haja ditamui urang di kampung-kampung di hunjur Loksado. Anja tuti iya aruwah urang nang hanyar mati. Mahayabang, mahinggur kulawarga atawa mamarinanya, tagal nang baluman bakatahuan kalu inya hudah mati.


Purama Pancalatun
  
A. Syarmidin, diranakakan di Hulu Sungai Selatan, 9 Agustus 1952. S2 Magister Administrasi Publik. November 2009 pangsiun PNS di Pamarintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Suwah jadi guru SMP Negeri 3 Banjarmasin (1973), SMP Negeri 1 Kandangan (1975). Takumpul wan kakawalan saniman di Posko La Bastari Kandangan. Manulis matan 1970-an, sapalihan ada di Banjarmasin Post. Puisi hidin tabuat jua dalam Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan, La Ventre de Kandangan (2004), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), Menyampir Bumi Leluhur (2010). Lain pada manulis, umpat jua mayuri baadu kasanian, napa haja. Karasmin kasanian nang suwah diumpati: Festival Teater Tingkat Nasional (di Surabaya, Jakarta, Bali, Mataram, Festival Teater Anak di Jakarta) wan Aruh Sastra Kalimantan Selatan.

Iwan Yusi, diranakakan di Kandangan, 2 Desember 1960. Panambaian manulis 1979, tagal mangirim ka surat kabar hanyar pihan 1981. Tulisan hidin sapalihan ada di Banjarmasin Post. Hidin rancak banar jadi nang paharatnya pihan ada bahaharatan maulah tulisan nang digawi bubuhan Depdikbud atanapi LIPI. Galumuk puisi hidin nang sauranganan: Kakamban Habang (1983) wan Gelang-Gelang Merjan (1984). Ada jua nang basamaan, Palangsaran (1982) wan Jendela Tanah Air (1995). Buku hidin, ubui, banyak tipang: Misteri Padang Galam (Balai Pustaka, Jakarta, 1994), Mungkur Kambing (Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1995), Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (Grasindo, Jakarta, 1996, wan Djarani, EM wan Burhanuddin Soebely), Tanah Kenangan (Riyadi Putera, Jakarta, 1995), Kabut Murung Kayu (Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1997), Anak-Anak Balai (Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1998), Jingah (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 1998), Kantawan (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2000), Loksado (Renika Cipta, Jakarta, 2001), Tambalaras (Sahala Adidayata, Jakarta, 2004). Hidin banyak banar dapat panghargaan: LGK Mendikbud RI (1992), Adikarya IKAPI (1998), Guru Berprestasi Bidang Peningkatan Apresiasi Sastra Anak Mendiknas RI (2003), Anugerah Kebudayaan Menbudpar RI (2006), Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya Presiden RI (2010). Hidin guru di SMK Negeri 1 Kandangan.

Hardiansyah Asmail, diranakakan di Kandangan, 1 Oktober 1060. Lain pada manulis puisi, limbah anu main sandiwara wan bubuhan Posko Lan bastari Kandangan wan PGRI Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Hidin hudah jua baisi kinditan puisi saurang, Bawanang (1996) wan Kembara (1997). Nang lain, sapalihannya tabuat di kinditan basamaan: Jendela Tanah Air (1995), Meratus Berduka (2000), Jembatan (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) wan Konser Kecemasan (2010).

Muhammad Fuad Rahman (Kayla Untara), diranakakan 22 September 1981 di Kandangan. Tamat sakulah di Politeknik Negeri -- jurusan Teknik Sipil -- Banjarmasin. Matan umur 9 tahunan sampai wayah niti, rancak jadi nang paharatnya amun umpat baadu kabisaan mambaca puisi, sandiwara, atanapi manulis puisi, kisah handap, atawa manggambar. Pihan sakulah di SMP Negeri 5 Kandangan haja, hidin suwah ka Surabaya, mawakili sakulahannya, baadu manggambar sa-Indonesia. Umpat balalajaran, main sandiwara, atanapi mamanda, di Posko La Bastari Kandangan. Suwah umpat Festival Teater se-Indonesia Timur di Banjarmasin. Puisi, kisah handap, atanapi ulahannya nang lain, sapalihan ada di Tabloid Budaya Gerbang (Kandangan), Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah (Banjarmasin) wan Media Kalimantan (Banjarmasin). Tulisannya nang lain tabuat jua di La Ventre de Kandangan (2004), Orkestra Wayang (2009), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), wan Menyampir Bumi Leluhur (2010). Wayah Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII di Tanjung, Kabupaten Tabalong (2010), hidin numur dua nang paharatnya maulah kisah handap bahasa Banjar. 

Aliman Syahrani, diranakakan 30 Desember 1976. Manulis puisi, novel, wan kucapa, tabuat di surat kabar atanapi website Kalimantan Selatan, Surabaya, Jakarta wan Malaysia (sapalihan sudah dibukuakan). Dapat Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2003).