ANAKLAUT

Saturday 17 November 2012

TANAMAN MARKISA DI HALAMAN RUMAH ( Siri 1 )



Markisa yang belum masak berwarna hijau

Anak pokok markisa yang baru di tanam

Markisa adalah tanaman yang menjalar dan perlu sokongan untuk hidup dengan subur.

Sokongan boleh dibuat dari batang besi atau kayu keras yang  boleh bertahan lama. Ini kerana pohon markisa boleh hidup bertahun-tahun lamanya. Jika sokongan tidak kuat ia akan rebah ke bumi, pastinya pokok akan mati atau tidak sihat kerana kekurangan cahaya matahari.


Kayu yang paling baik digunakan dari jenis kayu keras, cenggal, ulin dan kayu-kayu keras lain


Tanaman hendaklah dijarakan lebih kurang 2 meter untuk setiap rumpun supaya kawasan akar mencukupi untuk pohon mencari nutrien untuk pembesarannya secara berterusan.

Pembesaran pokok yang baik,  perlu ditambah baja NPK kerana tanah mungkin kekurang nutrien itu

Pokok yang telah berumur dua bulan sudah mula menjalar memanjat sokongan yang dibuat

Biasanya  markisa memanjat dengan memautkan sulur pautnya pada kayu sokongan atau apa saja yang boleh dipautnya.

Kadang-kadang pohon ini menjalar kearah yang salah, jadi perlu bantuan untuk dihalakan ke tempat yang  sesuai  supaya terus menjalar ke atas para yang di sediakan.


Pucuk muda yang aktif akan memanjang berapa mm sehari, tapi bila pucuknya menghala ke bawah pemanjangan jadi perlahan.

Lihat sambungan yang seterusnya di sini:

Sunday 11 November 2012

“MAWARIK TUNGGAL...”




JUMAT, 08 JUNI 2012

Esai: "Mawarik Tunggal..."


“MAWARIK TUNGGAL...”


Y.S. Agus Suseno


            Percayakah Anda, bahwa urang kampung dan urang bahari (bahari dalam arti “zaman dulu”, bukan dalam pengertian maritim) lebih arif dan bijaksana daripada orang kota atawa urang wayahini? Orang kota (yang biasanya juga berasal dari kampung) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba “modern” atau, malahan, “postmodern” (entah makhluk apa itu): kalangan intelektual dan cendekiawan, orang kantoran dan profesional, punya mobilitas tinggi, berwawasan “global”, mengikuti “trend”, “gaul”, memiliki akses tak terbatas dalam teknologi telekomunikasi dan informasi, moda transportasi, hiburan, kuliner dan seterusnya.
            Urang kampung (kalau kelak tidak pindah ke kota) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba “tradisional” dan, dengan sendirinya, “kampungan”: tinggal di desa terpencil, hidup dari bertani, berkebun atau menjadi nelayan, tidak berpendidikan (malahan, mungkin, buta huruf), tidak paham teknologi modern (tidak memiliki laptop, apalagi menjinjingnya kesana-kemari, seperti kaum snob). Bisa ditambahkan, urang kampung itu bila berbahasa Indonesia bajuju[1], tidak sefasih orang kota.
            Mau contoh dan bukti, bahwa urang kampung dan urang bahari lebih arif dan bijaksana daripada orang kota atawa urang wayahini? Dalam tradisi lisan, kearifan lokal masyarakat tradisional itu dituturkan (dan diturunkan) dari generasi ke generasi, melalui pepatah, peribahasa, ungkapan, petatah-petitih, tamsil, ibarat, yang mengandung nilai-nilai etik; umumnya bersifat instruktif, imperatif maupun preventif, dengan tujuan edukatif.  
            Untuk perilaku dan sifat orang yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain (selalu merusak tatanan, kerukunan dan persatuan), tergambar dalam ungkapanmawarik tunggal: ditinggal manawaki, dibawa malinggang ka jukung[2]. Dalam versi lain (dengan makna yang sama): dibawa malinggang ka jukung, ditinggal maningkalung.
            Ungkapan itu mengenai seseorang yang selalu tidak puas, suka mencari-cari kesalahan, kelemahan atau kekurangan orang lain, suka membuat onar (tidak mesti secara fisik), walaupun sudah diberi tempat, peran, jabatan dan kedudukan terhormat.
            Jika komunitasnya tengah membangun wadah, atau sedang mengadakanaruh (kenduri, pesta, selamatan; boleh diperluas dengan perhelatan, festival, kongres), kalau tidak diikutsertakan dia akan kasak-kusuk, menyebar isu, mencaci maki dan, bila perlu, menebarkan fitnah. Sebaliknya, kalau diikutsertakan dia akan melakukan hal-hal yang dapat merusak wadah, gawi atau aruh itu dengan menjelek-jelekkannya (atau memburuk-burukkan pekerjaan yang lain), padahal nota bene dia juga salah seorang ampun gawi.
            Bagi urang Banjar kebanyakan, orang yang mawarik tunggal itu ngalih diagungakan[3]. Baginya, orang lain selalu salah, hanya dialah yang benar. Baginya, seharusnya aruh itu dikerjakan begini, bukan begitu, dan seterusnya; sambil memamerkan konsep yang maanduh-anduh. Padahal, kalau dia sendiri yang mengerjakannya, belum tentu bisa.
            Yang menjengkelkan, ketika urang takumpulan dan berunding (bacucuk buku) menjelang aruh, saat semua orang dimintai saran dan masukan, mengkompromikan ide dan gagasan (demi kepentingan dan tujuan bersama), dia diam saja, tak bersuara, nangkaya karak dikuwahi banyu[4].
            Celakanya, di saat (atau setelah) baaruhan, tiba-tiba dia mawada, manyambati, mencela: kenapa dikerjakan begitu, tidak begini? Kenapa nang ampun gawi (yang punya hajat) tidak begini-begini, tapi begitu-begitu? Dan seterusnya.
            Nah, pawayanggungan (seniman wayang gong) punya ungkapan khusus untuk perilaku semacam itu: mangguyang tungkat, kana kapala[5]. Ungkapan itu diambil dari pengalaman pawayanggungan sendiri dalam pertunjukan. Dalam sebuah adegan, manakala Rahwana (atau Dasamuka) muncul sambil menari  (baigal), terkadang dia memutar-mutar “tongkat kebesaran”-nya. Kalau tidak hati-hati, putaran tongkat itu bisa memukul kepalanya sendiri. Dalam pepatah Melayu klasik: menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri.
            Orang yang memiliki watak, karakter dan kepribadian mawarik tunggal sulit berkomunikasi dan menjalin hubungan jangka panjang dengan orang lain, di manapun dia berada, karena sifatnya yang  piragah, paiyanya, pina musti. Dia cenderung cari selamat, penjilat, avonturir, manimpakul, mambatang timbul. Dalam bahasa awam: kada kawa bamasyarakat (tidak bisa bermasyarakat).
            Andai jadi pemimpin (di manapun: institusi, lembaga, organisasi, formal maupun informal), dia haus publisitas, suka pujian (ambungan), otoriter, antikritik, tak bisa dibantah, tidak demokratis. Egonya menggelembung. Siang malam dia bercermin, mengagumi wajahnya sendiri yang dirasa paling sempurna (narcisus). Tak pernah terbayangkan baginya untuk bersikap barandah pada kancur[6] .  
            Siapa yang dapat “menaklukkan” warik tunggal itu? Boleh jadi warik tunggal lain, yang lebih besar, lebih berpengaruh, lebih berwibawa dan lebih panjang “taring”-nya. Hanya itulah yang membuatnya alah tadah. Di hadapan warik tunggal yang lebih besar dan lebih berkuasa (apalagi kalau jumlahnya lebih banyak), warik tunggaltadi akan simpun (tertib), duduk sopan dan manis. Namun, itu hanya sandiwara. Sebab, dalam situasi yang tidak menguntungkan itu dia akan mengambil sikapmuha basungkam, buntut mahambat[7].
            Secara persuasif, masyarakat Banjar di masa lalu sudah memberikan banyak nasihat (papadah, pitua) bagi orang yang mawarik tunggal. Di mata masyarakat, orang baik itu adalah orang yang badiri sadang, baduduk sadang[8],bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan  kondisi sekitarnya.
            Orang yang bisa beradaptasi, menghargai tradisi, budaya dan lingkungan tempatnya bermukim, bekerja atau bergaul, akan membuat orang lain senang. Orang akan menghormati dan menghargainya. Bahkan, dalam cara berbicara pun sudah ada aturannya: banganga dahulu, hanyar baucap[9]Boleh dikata, sistem budaya dan tradisi masyarakat Banjar memiliki hampir semua jawaban atas segala persoalan, berkenaan dengan perilaku etik dan normatif.
            Tapi bagaimana kalau warik tunggal itu tidak berubah, walaupun sudah diberi peran, jabatan, kedudukan penting dan terhormat dalam sebuah gawi sabumi (yang, untuk itu, bahkan orang yang lebih berkompeten pun dengan sukarela mempercayakan kepadanya)? Hal itu akan dinilai sebagai sudah dikilik, diandak ka bahu, handak ka kapala[10], dibari daging handak tulang[11].
            Bila upaya masyarakat mengoreksi perilaku anak, sanak saudara, keluarga atau warganya yang mawarik tunggal itu tidak membuahkan hasil, sudah tersedia jawaban lain (meskipun diungkapkan dengan nada fatalistik): halin haja, bamban kada babuah[12]Sudah takdir, tidak mungkin berubah. Dasar ajal[13].
            Bamban adalah sejenis tumbuhan yang berserat. Batangnya rata-rata sebesar jempol kaki, tinggi sekitar 2 meter dan tumbuh di rawa-rawa. Seratnya dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuat bakul pencuci beras, bisa pula dimanfaatkan sebagai tali pengikat atap rumah (yang terbuat dari daun rumbia).  
            Memang, walau bagaimanapun bamban takkan pernah berbuah. Meskipun tidak berbuah, tapi ia berbunga putih. Karena tidak berbuah, ia tumbuh dan berkembang melalui akarnya. Oleh karena itu, di sekeliling batang bamban lazim tumbuh tunas-tunas bamban. Itulah cikal bakal bamban lainnya.
            Pada mulanya, ungkapan yang memakai bamban sebagai kiasan itu ditujukan bagi kehidupan seseorang yang tidak pernah berubah, secara sosial maupun ekonomi,  walau sekeras apa pun dia bekerja dan berusaha. Tapi ungkapan itu dapat pula dimaknai sebagai simbol perilaku individu yang kada masuk banyu,sudah kada kawa diapa-apai lagi[14].
            Dengan demikian, apa yang dapat dilakukan terhadap orang yang mawarik tunggal itu? Diam-diam, orang akan menjauhinya, enggan berakrab-akrab dengannya. Memang, dalam suatu acara, pertemuan atau silaturahmi, orang takkan terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada yang bersangkutan.
            Di hadapan si  warik tunggal, semua orang bersikap biasa saja, seolah sewajarnya, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Tapi orang sudah mencapnya sebagai buyang baciri[15], iya kandang, iya babi[16]Ungkapan itu sebuah indikator stigma dalam perilaku budaya, berkenaan dengan seseorang yang telah merusak kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan  orang lain kepadanya.
            Apakah cukup sampai di situ? Tidak. Sanksi moral dan sosial yang dijatuhkan masyarakat terhadap orang yang mawarik tunggal bisa amat berat: dibuang (atau diasingkan) dari lingkungan pergaulan sosialnya. Seorang anak akan dibuang orang tua dari keluarganya. Tidak lagi diakui sebagai keturunannya. Dan itu diungkapkan dengan baik mambuang hintalu sabuku daripada tambuk sakataraan[17]Nah! Pang parahu, siapa kana kada tahu...
             
*



[1]  terbata-bata
[2]  seperti monyet: (kalau) ditinggal, melempari; (kalau) diajak, mengolengkan sampan
[3]  sukar dihormati
[4]  bagai kerak nasi dikasih air
[5]  menggoyang tongkat, terkena kepala
[6]  lebih rendah daripada kencur, rendah hati
[7]  muka menunduk, ekor melecut
[8]  berdiri, cocok; duduk pun, cocok
[9]  menganga dulu, baru bicara
[10] sudah digendong, dinaikkan ke bahu, mau naik ke kepala
[11] diberi daging, mau tulang
[12] apa boleh buat, bamban memang tak berbuah
[13] sudah dari sono-nya
[14] sudah tak bisa diperbaiki lagi
[15] kartu bertanda, bertabiat buruk
[16] ya, pagarnya;  ya, babinya
[17] lebih baik membuang sebiji telur daripada membusuk semuanya

Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong



SELASA, 09 OKTOBER 2012

Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong



HIKAYAT TANJUNG PURI
DAN TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong

Abdul Hanafi
Gusti Indra Setyawan
Lilies MS
Loki Santoso
Mahfuzh Amin
Muhammad Fitriadi
H. Akhmad T. Bacco


Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hikayat Tanjung Puri dan Tangisan Putri Galuh Sewangi
Kalimantan Selatan: Tahura Media
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tabalong
..... hlm., 14 x 21 cm
Cetakan ke-1, ..... 2012
ISBN:

Hikayat Tanjung Puri dan Tangisan Putri Galuh Sewangi
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong

Abdul Hanafi
Gusti Indra Setyawan
Lilies MS
Loki Santoso
Mahfuzh Amin
Muhammad Fitriadi
H. Akhmad T. Bacco

Editor: Y.S. Agus Suseno
Desain isi:
Desain cover:
Ilustrasi cover: Abdul Hanafi

Diterbitkan oleh
Tahura Media
Jalan Sultan Adam RT 16 Nomor 46 C Banjarmasin
Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511) 3302472
bekerja sama dengan
Pemerintah Kabupaten Tabalong
Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan Tanjung Selatan RT VII, Pembataan
Telepon (0526) 2021597, Tanjung
Kabupaten Tabalong

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN BUPATI TABALONG

            Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah kita masih diberi kesempatan untuk berkiprah dan mengabdikan diri kepada bangsa dan negara.
            Cerita rakyat, dongeng dan legenda yang terangkum dalam buku bukan hal baru dalam dunia kepustakaan. Cerita lisan atau tulisan berupa cerita rakyat,dongeng dan legenda selalu ada sepanjang sejarah, sepanjang manusia masih menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi dan budayanya.
            Saya merasa bersyukur, kagum dan bangga atas terbitnya buku HikayatTanjung Puri dan Tangisan Putri Galuh Sewangi yang disusun oleh parapenulis Kabupaten Tabalong ini. Ini prestasi yang membanggakan, karena buku seperti ini tergolong langka.
            Memang, masih banyak cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong yang belum sepenuhnya digali oleh para penulis kita. Dengan terbitnya buku ini, saya berharap akan terbit lagi buku lain, baik berupa cerita rakyat maupun khazanah budaya daerah Kabupaten Tabalong lainnya.
            Semoga buku ini memperkaya khazanah budaya daerah kita, dan dapatdijadikan sebagai salah satu pilihan bahan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Tabalong.
            Dengan terbitnya buku ini, diharapkan masyarakat dan generasi muda dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga. Sebab, cerita rakyat banyak mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebajikan, yang bermanfaat untuk kehidupan.

Tanjung, Oktober 2012

Drs. H. Rachman Ramsyi, M.Si
SAMBUTAN
KEPALA DINAS SOSIAL KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TABALONG

            Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari, oleh, hidup dan berkembang, di masyarakat. Ada dua jenis cerita rakyat: berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat berbentuk prosa terdiri dari mitos, dongeng dan legenda.
            Buku ini berisi selusin cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa daerah Banjar. Disajikan dengan bahasa sederhana, karena memang dimaksudkan untuk bacaan anak-anak, remaja, guru dan orangtua.
            Pelestarian bahasa dan sastra daerah penting, sebab merupakan warisan budaya nenek moyang yang tinggi nilainya. Upaya pelestarian itu bukan hanyadapat menambah wawasan bahasa, sastra dan budaya daerah, tapi juga memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Upaya itu dapat menjadi dialog antarbudaya antardaerah, salah satu unsur penting dalam mewujudkan wawasan keindonesiaan.
            Buku ini dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi minimnya bahanmata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Tabalong. Sebelum ini, buku cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong dapat dihitung dengan jari. Tidak heran kalau kemudian guru-guru di tingkat pendidikan dasar dan menengah di Bumi Saraba Kawa kesulitan dalam mengajarkan mata pelajaran muatan lokal. Karena minimnya bahan, langkah yang ditempuh para pendidik biasanyaadalah dengan mengambil cerita rakyat daerah lain sebagai bahan ajar. Hal ironis pun terjadi: anak didik lebih mengenal cerita rakyat daerah lain ketimbang cerita rakyat daerahnya sendiri.
            Sebagai langkah awal, buku ini dapat menjadi salah satu pilihan bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal. Agar masyarakat dan anak didik kita tidak terasing dari khazanah budaya daerahnya sendiri. Seperti kata pepatah Melayu lama, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Semoga langkahkecil ini memberi arti.

Tanjung, Oktober 2012


H. Suryanadie, S.Sos, M.AP
PENGANTAR
KEPALA BIDANG KEBUDAYAAN
 DINAS SOSIAL KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TABALONG

                Selusin cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong yang terdapat di buku ini, dengan berbagai versi, pernah hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat, dituturkan dari mulut ke mulut, diwariskan dari generasi ke generasi.Upaya membukukan cerita rakyat ini dimaksudkan agar generasi sekarang dan yang akan datang akrab dengan khazanah budaya daerahnya sendiri.
            Kabupaten Tabalong dihuni beraneka ragam suku bangsa. Banyak cerita rakyat, mitos, dongeng dan legenda yang penting digali dan dibukukan, agar khazanah budaya bangsa itu dapat diwariskan.
            Dengan buku ini, masyarakat diharapkan lebih mengenal dan mengetahui cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong. Barangkali ada cerita rakyat daerahKabupaten Tabalong yang mirip dengan cerita rakyat di daerah lain. Hal itu menunjukkan, dalam kebhinekaan Indonesia, di manapun kita berada, selalu ada benang merah yang menghubungkannya.
            Barangkali ada yang kurang sependapat dengan versi cerita rakyat yangtertulis di sini. Andaikan demikian, dipersilakan untuk menggali, menyusun dan memperkaya lagi, sesuai dengan versinya. Hal itu amat positif. Bagi masyarakat, itu akan memperbanyak pilihan, menambah pustaka cerita rakyat daerahKabupaten Tabalong, penting diwariskan kepada generasi muda, dan memperkaya khazanah budaya leluhur kita.
            Terima kasih kepada para penulis dan berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannyaKritik dan saran amat diharapkan, untuk perbaikan di masa depan.

Tanjung, Oktober 2012


DraLilis Marta Diana, M.Si


DAFTAR ISI

Sambutan Bupati Tabalong
Sambutan Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Tabalong
Pengantar Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Tabalong
Daftar Isi
 1. Legenda Tanjung Puri dan Tangisan Putri Galuh Sewangi (Gusti Indra Setyawan)
 2. Asal Mula Nama Jaro (Loki Santoso)
 3. Datu Pintit (Muhammad Fitriadi)
 4. Legenda Gunung Halat (Loki Santoso)
 5. Utuh Talungkup wan Pilanduk  (Gusti Indra Setyawan)
 6. Ledakan Tiga Biji Limpasu (Mahfuzh Amin)
 7. Asal Mula Kisah Kambing Takutan lawan Banyu  (Gusti Indra Setyawan)
 8. Asal Mula Nama Kampung Liang Tapah (Loki Santoso)
 9. Puhun Binjai wan Puhun Jingah (Muhammad Fitriadi)
10. Si Pujung Jadi Batu (Lilies MS)
11. Si Diang Bakut (H. Akhmad T. Bacco)
12. Legenda Arya Tadung Wani (Abdul Hanafi)
Tentang Penulis 
 

HIKAYAT TANJUNG PURI
DAN TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI
Gusti Indra Setyawan

Dahulu kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim Mangku Praja, permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik hati. Mereka mempunyai dua putri yang cantik jelita: si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati.
            “Anakku, kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencaripendamping hidup. Ayah sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata baginda kepada kedua putrinya.
            “Ya, Ayahanda...,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
            “Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita? Sepeninggal ayahanda, kami tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,” Putri Roro Sulastri menimpali pembicaraan ayahnya dengan sombong.
            “Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri menganggap nasihat ayahnya hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi mencamkannya benar-benar, dan dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran dari kerajaan seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata pun, nama kedua putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia beramanat:
“Anak-anakku, sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudahpunya suamisebagai pendamping hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi amat mencintai ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang dapat menyembuhkan sakit ayahnya, jika perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasukpenyakit ayahnya sendiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada punggawa kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan mengawinkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Soal syarat, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya...”
***
Rakyat kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat baginda raja sedang sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik membicarakan kecantikan dua putri raja itu.
“Duhai, Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda kampung kepada teman-temannya.
Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya, tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahuttemannya yang lain lagi.
Tak lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja. Pengawal membacakan titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri... Pengumuman, pengumuman...!Aku, Raja Halim Mangku Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Barang siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk mengetahui syaratnya. Tertanda, Raja Halim Mangku Praja...”
***
Sepekan setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja Halim Mangku Praja. Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakitnya.
Di Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke istana untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek sekali, senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang. Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama PangeranHanung Prabu Cakra. Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. PangeranHanung juga beniat mempersunting putri Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa terpukau dengan kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai, Putri Galuh Sewangi... Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran Hanung dengan percaya diri.
“Sebentar, Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadiistrimu,” sahut Putri Galuh Sewangi.
Pangeran Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi, setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan menahan rasa malu, penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya direguk dan disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim Mangku Praja duduk di tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai suaminya, menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi ia tak sudi menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung kehilanganselera.
“Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan merendahkan orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya.Semuanya sudah kumiliki. Siapa yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah, kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta prajurit dan dan orang-orang di sekitarnya.
Kurang ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang![1]Timpakul![2] Kamu juga, Joko! Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahanamembelah angkasa. Suara gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat. Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh. Pepohonan di alun-alun tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan istana. Jerit tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat Kerajaan Tanjung Puri panik dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan meluluhlantakkan istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga kerajaan.
***
Alkisah, Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagaiObjek Wisata Tanjung Puri. Air danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi. Setiap malam Jumat, di danau itu konon kadang tercium bau wangi.      
Konon, danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapiorang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masihdipercaya oleh sebagian warga. Pasangan yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau tak ingin kapuhunan[3]karena dikariau[4] buaya. 
***


ASAL MULA NAMA JARO
Loki Santoso

Di antara gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua pasang kaki telanjang pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukitdi sepanjang pesisir sungai.
            “Jek adhoh to kang gone sing diparani kui?”[5] tanya Muhiman kepada temannya.
            “Yo, embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“[6] jawab Marto Kuncung, sambil terus melangkah.
            Di kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
            “Kae` koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“[7] sahut Muhiman.
            Keduanya bergegas ke gubuk itu.
            “Kulo nuwuuun....“[8] Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering  dilanda kemarau itu.
            Di kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang, bekas panen bulan lalu.
            “Kulo nuwun...,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam.       Pemilik pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
            “Permisi, Pak...,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman...“       
            “Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya sambil menggeser pintu gubuk.
            Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk masuk ke gubuk berukuran empat meter per segi, yangberatap ilalang dan berdinding kulit kayu kering itu.
            ”Barang-barangnya dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada duatamunya yang membawa buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
            Dengan kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya, terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
            “Umanyaaa...! Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan...,”[9] Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
            Akhirnya, mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati puncak gunung yang terletak di sebelah  barat gubuk.
***
            Nyala lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
            Ditemani teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu bercakap-cakap.
            ”Terima kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kamiingin membantu Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
            “Tapi kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
            “Kami tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun, cukup,” sahut Marto Kuncung.
            “Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
            Pembicaraan berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
            Dalam hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karenatelah membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat ke situ.
***
            Kokok ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari tidur beralaskan tikar purun[10]. Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya hari baru.
            Muhiman membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang. ”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
            ”Hari ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
            Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan  pisang goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
            “Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa menanak nasi...,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
***
            Tiga pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap untuk ditanami.
            “Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
            “Tidak ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit Batu Kumpai.
            “Kalau panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”         
            ”Ke pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
            Milir mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk. Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga menjual hasilnya.
            Beberapa waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah panen.
            “Besok kita jual ke pasar...,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan biji-biji kedelai ke karung goni.
            “Inggih, Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto Kuncung.
            “Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
            Di bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
            Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai, tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan di antara mereka, dengan punggung menggendonglanjung[11]. Saat mereka tiba di Pasar  Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
            Setelah kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu...”
            Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan masing-masing.
            Muhiman yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagangpasar memerhatikan tingkah lakunya yang tampak kebingungan.    
            ”Handak manukar apa pian, Cil?”[12] tanya seorang pedagang.
            Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhimanhanya menjawab singkat, “Inggih...”
            Jawaban Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
            “Sampian matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?”[13]Pedagang lain menghujani Muhiman dengan pertanyaan.
            “Inggih, inggih....”
            “Andika urang mana?”[14]
            Meskipun bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama, makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan terbata-bata.
            “Bapak berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu.   “Njero[15], Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
            “Ooo.... Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
            “Njero kono, adhoh.”[16]
            “Ooo... Ya, ya, ya...”
            Para pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan, meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari sebuah tempat bernama“Jaro”.
            Para pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”. Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian menyebutnya “Jaro”.  
            Sejak saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.
***


DATU PINTIT
Muhammad Fitriadi

            Bahari, ada kampung nang andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung Wayau. Di situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat tuha, kada. Disambat anum, kada kawa jua.
            Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katujubatatulung. Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan cangkul, handak turun ka kabun.
“Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang buntut mahabisakan jagungku...,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun gunung. Kada karasaan, sampai sidin ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin sampai, hari sudah tarang. Balalu ai sidin basiang rumput, mambarasihi jagung nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari, dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pindbaikhaja kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa akubatutukar sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
            Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman malihat hasilnya. Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai di kabun, sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang rusak.    
            “Siapa satua nang maudak jagungku ni...?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan. “Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun jagungnya, kada tabulangkir. Nang panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas kana lincai. Lamunnya satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya....”
            Pindanya, ni lain gawian satua nang badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
            Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun mambawa sanapang angin. Sampai di kabun, sidin basintup di higa balanai higa lalungkang. Sampai tangah hari, nang panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar ai lalu, babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui, datu, umpat lalulah...?” ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu ha! Kadada nang manangati jua...!” sahut Datu Pintit.
Lawas kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah kabun, sidin liwar takajut.
“Naaah... Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintitbamula curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah tangah hari tu. Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan, rusakan.
***
Limbah tu, dihintipakan Datu Pintit ai urang tu wayah lalu.
Ui, datu, umpat lalulah...?” Kadangaran suara urang tu bapadah.
Nah, ujar Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya!Bagamat sidin bajalan, mahintipakan, mairingi. Sidin kada handak langsung manangkap urang tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya, urang tu lain manusia, tagal urang gaip! Macan jadi-jadian!Ujar, lamunnya bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya. Lamunnya handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang, bagamatan mairingi. Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap diambil sidin bajunya!
Limbah tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar abutnya, mancarii bajunya ka hulu ka hilir. Sudah tuhuk mancarii, tagal kada taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan Datu Pintit, pada inya nang mamakani jagung.
”Datu... Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rilaDudi-dudi, ulun kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kadababaju tu, ulun kada kawa bulik ka alam ulun...,” ujar macan jadi-jadian tu mambari marasparak manangis.
Nang ngaran Datu Pintit ni urang baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu. Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan lagi ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih, datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat pian.’’
Limbah baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka alamnya. Nang ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama haja jua lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam subalah tu. Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa kamalingan.
Sampai wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak daun hidup di higa kupingnya.
***
LEGENDA GUNUNG HALAT
Loki Santoso

Di lembah hutan belantara yang dikelilingi pegunungan, bertapa pria bertubuh raksasa dan berpakaian kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman sekarang, lebar dadanya lima jengkal.
Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta petunjuk dewata, agar mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah 45 tahun, tapi belum juga mendapat jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga pada suatu hari:
”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini...?”
Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya getaran suara orang tua itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu tempatnya duduk.
Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan waspada. Siapa orang ini? Ini bukan orang sembarangan, batinnya
“Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada luasnya dunia, dalamnya laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Dengan siapa gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan.
“Aku penguasa hutan dan pegunungan di wilayah ini. Namaku Marlung!“ sahut orang tua itu dengan nada tinggi. ”Mengapa engkau di sini, tanpa seizinku?”
“Sekali lagi, maaf. Saya tidak tahu. Sudah bertahun-tahun saya bertapa di sini, tapi tak pernah bertemu seorang pun,” sahut Tilan. ”Saya pengembara dari negeri seberang.”
“Baiklah, anak muda. Engkau kumaafkan. Tapi, jawablah pertanyaanku dengan jujur. Apa tujuanmu bertapa di sini?”
“Saya mencari petunjuk tentang jodoh saya. Sebab, hingga kini saya belum bertemu jodoh.”
Orang tua bertubuh raksasa itu senang dengan kejujuran anak muda itu. ”Baiklah. Engkau kuizinkan bertapa di sini. Setelah dua belas purnama, aku akan kemari lagi.”
“Terima kasih,“ jawab Tilan.
Tanpa Tilan sadari, orang tua itu sudah menghilang.
Tilan duduk lagi di tempat semula untuk melanjutkan pertapaannya. Namun, pikirannya tak lagi terpusat pada tujuan semula, tapi pada orang tua tadi. Siapakah Marlung? Benarkah raksasa itu penguasa hutan dan pegunungan ini?
Yang membuat hatinya lega, ternyata masih ada orang berwujud raksasa seperti dirinya. Itu membuatnya berpikir, jika ada orang lain yang bertubuh sama  besar dengannya, mustahil dewata tidak menciptakan orang lain dengan wujud sebesar itu, terutama yang berjenis kelamin perempuan. 
***
“Hai, siapakah engkau...?”
Suara perempuan membangunkan Tilan dari pertapaannya.
Sembari menarik napas dalam, Tilan membuka mata dan menoleh ke arah suara itu. “Maafkan saya yang hina ini. Nama saya, Tilan. Ada apakah gerangan?“
“Sudah berapa lama engkau bertapa di sini? Apa yang kau cari?”
Seorang perempuan  tua bertubuh raksasa, berbaju  kulit kayu dan rambut awut-awutan, menghujani Tilan dengan pertanyaan.
“Saya mau mencari jodoh. Sudah tujuh belas purnama bertapa di sini. Maafkan jika tidak berkenan,” jawab Tilan.
“Baiklah, anak muda. Teruskanlah tapa bratamu. Semoga berhasil...”
Belum hilang suaranya, perempuan tua raksasa itu sudah lenyap dari pandangan.
Kedatangan perempuan tua raksasa itu membuat Tilan makin yakin, masih ada perempuan muda raksasa lainnya yang diciptakan dewata untuknya. Soalnya, dewata telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
Pada suatu hari, telinga Tilan yang sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi di sekitarnya mendengar senandung kecil di antara suara burung dan dedaunan yang gemerisik ditiup angin. Penasaran, ia bangkit dari pertapaan dan menyusuri jalan, menyibak rimbun dedaunan dengan perlahan.
Langkah kakinya terhenti, saat mendengar senandung perempuan di balikrumpun bambu. Ia ingin tahu, siapa pemilik suara itu.
Sesaat Tilan terpaku. Rasa penasaran membuatnya mendekat dengan hati-hati, agar kehadirannya tak diketahui gadis cantik bertubuh raksasa berkulit bersih, berambut panjang, hitam dan legam, yang jika berdiri mungkin panjang rambutnya mencapai tumit.
“Siapa itu...?!” seru gadis raksasa itu saat melihat kehadiran Tilan.
“Maafkan aku. Suara nona yang merdu membuatku datang kemari. Suara nona ternyata secantik orangnya..,” jawab Tilan sambil menampakkan diri.
Siapa kamu? Beraninya mengintipku? Apa maksudmu?”
“Namaku Tilan. Aku bertapa di lembah sebelah sana. Aku ingin minta petunjuk kepada dewata tentang jodohku. Nah, pertanyaan nona sudah kujawab. Sekarang, giliran nona. Siapa nona, dan dari mana?”
“Namaku Ambar, asalku di sebelah bukit ini. Orang tuaku bernama Mratung,” sahut perempuan itu dengan nada lunak.
Tilan lega, tapi kaget setelah tahu, bahwa gadis raksasa itu adalah putri orang tua raksasa yang pernah menemuinya. Saat mata Tilan beradu pandang dengan mata Ambar, dadanya berdegup kencang. Begitu pula Ambar. Wajah gadis raksasa itu bersemu merah, tertunduk malu tersipu-sipu.
“Ambaaar....!“
Suara yang nyaring dan menggelegar tiba-tiba memanggil nama gadis itu. Suara itu merontokkan dedaunan kering di atas pepohonan. Demikian nyaringnya suara itu, membuat sepasang muda-mudi yang sedang beradu pandang itu tersentak ke belakang, hingga jarak mereka berjauhan.
Belum hilang rasa kagetnya, Tilan dikagetkan lagi dengan kehadiran pemuda bertubuh raksasa berbaju kulit kayu. Pemuda itu berdiri tegap dan tegak, dengan mata kemerahan, langsung membentak, “Siapa kamu?!”
“Aku, Tilan. Anda sendiri, siapa?”
“Aku Marlung, putra Mratung, penguasa wilayah ini. Mengapa kau mengganggu adikku!?
“Maaf, tapi aku tak melakukan apa-apa. Kami baru saja berkenalan.”
“Apa maksud kedatanganmu?!“
Mencari jodoh. Tak disangka, di sini bertemu dengan keluarga bertubuh sama besar denganku, dengan anak gadisnya yang cantik.”
“Apa maksudmu?!”
“Aku ingin  menyunting Ambar,” jawab Tilan terus terang.
Marlung tampak kurang senang. “Kami tinggal satu kelompok. Semuanya raksasa. Pergilah ke sebelah bukit sana, akan kau jumpai raksasa seperti kami. Di sana juga banyak gadis raksasa. Jika ingin menyunting adikku, kau harus adu ilmu denganku dulu. Agar kami tidak salah pilih. Engkau dari mana, keluarga siapa?!”
Tilan berpikir sejenak. Selama bertapa, hanya Ambar raksasa perempuan yang pernah ditemuinya. Jika perempuan itu  memang jodohnya, adu kesaktian untuk mendapatkannya cukup sepadan.
“Baiklah. Aku yakin, Ambar adalah jodohku. Mari kita bertarung...”
Tilan dan Marlung kemudian adu kesaktian.
Bagi Ambar, menyaksikan pertarungan seperti itu sudah biasa. Sebab, ia dibesarkan dalam adat istiadat seperti itu. Pertarungan itu menumbangkan pepohonan, akibat terkena pukulan dan tendangan keduanya. Perkelahianmereka berlangsung siang-malam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Semakin lama, arena perkelahian mereka semakin meluas, mendekati lembah tempat Tilan bertapa.
Dalam satu kesempatan, keduanya mengeluarkan ilmu tingkat tinggi. Saat keduanya mengangkat tangan, keluar cahaya putih menyilaukan mata, lalu merekamelontarkannya dan beradu di udara. Hawa panas pukulan itu mengenai sebatang pohon besar. Pohon itu langsung hangus dan terbakar,  terbelah dua dengan warna berbeda. Belahan pohon pertama yang berwarna merah roboh ke arah utara, yang kehitaman roboh ke selatan.
Saat pertarungan telah berlangsung tiga purnama dan mencapai puncaknya, mereka masing-masing mengeluarkan ilmu beralih rupa. Tilan berubah wujud,menjadi ikan bermulut lancip, dengan punggung berduri tajam tanpa sisik; sementara Marlung menjadi belut besar berkepala mirip ikan gabus, bertubuh bulat dan panjang.
Keduanya menceburkan diri ke dalam kolam. Di dalam kolam, keduanya membelit dan saling tusuk dengan senjata masing-masing. Air kolam keruhmenjadi lumpur, bergolak dan mengeluarkan gelombang udara.
Saat itulah Mratung dan Ambar datang.
Mratung murka dan membentak keduanya agar menghentikan perkelahian. Namun, keduanya tak menghiraukan.
“Kalau kalian tak henti berkelahi, kalian takkan kembali ke wujud semula...!” seru Mratung.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Mratung mengucapkan mantra. Tangannya mengeluarkan cahaya keemasan. Cahaya itu diarahkannya ke kolam. Air kolam yang semula keruh berlumpur dan bergolak, tiba-tiba menjadi tenang. Mratung memisahkan tubuh keduanya yang kelelahan, dan berkata, “Untuk selamanya, wujud kalian akan begini! Kalian harus pergi dari kolam ini!“
Dengan tubuh lemah lunglai, keduanya pergi meninggalkan tempat itu, masing-masing ke arah utara dan selatan, membuat jalan dengan sisa-sisa tenaganya. Dari jalan yang mereka buat, terbentuk dua aliran sungai. Sungai di utara kini dinamakan Sungai Maliri, yang banyak ikan malung-nya. Tapi, di sungai itu tidak ada ikan tilan. Sebaliknya, sungai di selatan kini dikenal sebagai Sungai Pupuh. Di dalamnya, banyak ikan tilan, tapi tak ada ikan marlung.
***
Dari cerita orang-orang tua, dahulu di perbatasan Gunung Halat ada pohon besar bercabang dua, yang berbeda jenis dan warna daunnya. Konon, itulah pohon yang pernah terbelah dua akibat perkelahian Tilan dan Marlung. Pohon itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang mempunyai ilmu kebatinan. Kini, daerah itu merupakan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan Selatan.
***


UTUH TALUNGKUP WAN PILANDUK
Gusti Indra Setyawan

            Bahari, di Kampung Mahe, ada bibinian nang batianan. Uma Idang ngarannya. Lakinya sudah kadada lagi, hanyar am mati ditimbak patir wayah di pahumaan. Rumahnya rumbis banar. Hatapnya daun rumbia. Lamunnya ada angin tutus, takipaian hatapnya. Liwar buruk rumahnya. Gawian Uma Idang saban hari maambil upah manurih gatah, sapalih batanam gumbili, sapalihan lagi bahuma. Parutnya sudah masuk itungan lapan bulan. Ujar urang,  sabulan haja lagi mambarubus. Tagal, sidin cangkal haja lagi bagawi.
            “Aduhhhh... Parutku ganal sudah. Parak sudah baranak. Laki, kadada. Dingsanak, kadada. Duit, kada tapi ada. Dimapa juakah kaina nasip anakku ni...,” ujar Uma Idang marista diri.
Saban hari, siang malam, Uma Idang asa marista. Satutumat, manangis saurangan, sampai bantal batahi lambuan.
            Kada karasaan, sampai sudah sambilan bulan, sambilan hari. Manunggu wayahnya haja lagi. Saharianan Uma Idang badangsar, kasakitan parut. Hadap kiwa, hadap kanan, batilungkup, tatap ai sakit. Maka, tumatan rumahnya ka rumah dukun baranak, jauh banar. Untungnya, ada haja urang nang hakun manulungi, mangiauakan dukun baranak.
            “Buka sadikit lagi... Tarus hajan... Tarussss, sadikit lagi...!” ujar dukun baranak, manyuruh Uma Idang.  
            “Aduuuh... Nangapa lagi nang dibuka? Asa lain nang dihajan, nah! Asa takaluar nang sabutingnya!” sahut Uma Idang.
            “Iya am, tu! Parak sudah! Hajan tarussss...!”
            Kada lawas mahajan, mambarujul takaluar jabang bayi lakian.           
            “Uaaa... Uaaa... Uuuaaaa...!” Nyaring banar suara tangis anak Uma Idang.
            Anak tu dingaraninya Utuh Talungkup. Maraganya, wayah maranakakan, Uma Idang tatalungkup-talungkup mahajan. Balalu, anaknya dingarani Utuh Talungkup. Urang bahari nang nyaman-nyaman haja mangarani anak, kada pati ngalu kapala mamikirakan.
            Dilihatinya anaknya, dipusutinya. Kaingatan Uma Idang wayah batianan talu bulan. Nang dikidamnya, buah pitanak, buah urang bahari. Wayah ini, buah pitanak sudah kadada lagi. Buahnya hirang. Rasanya masam sadikit.
            “Pantas haja anakku ni hirang. Aku pang mangidam pitanak...,” ujar Uma Idang dalam hati.
Uma Idang kaingatan lawan kai nang mambari buah pitanak tu, wayah inya batianan. Kai tu baucap, ”Lamun ikam mamakan buah pitanak ni, anak ikam kaina ganalnya pintar, pawanian, raja akal. Tagal, awaknya hirang....”
            Nang ngaran urang mangidam, napa haja dituruti Uma Idang. Sakalinya, dasar bujur hirang awak anaknya. Kada karasaan, satahun, dua tahun, sapuluh tahun, sampai dua puluh tahun umur Utuh Talungkup. Uma Idang sudah sasain tuha. Muha takarisut. Kulit mangariput. Awak kandur. Mata kaur. Bajalan tamaju taundur.
***
           Uma Idang kahandakan banar makan daging pilanduk. Nang kaya mangidam ha lagi. Bakiau ai Uma Idang lawan anaknya. “Tuh... Uuu, Tuhhhh... Ka mari satumat, Nak!”
            “Inggih, Ma. Napa, Ma?”
           “Cariakan pilanduk. Mama handak banar makan daging pilanduk.”             “Inggih. Ayuha, Ma ai.”
Limbah maambil tumbak wan karung, tulak ai Utuh Talungkup ka hutan. Nang ngaran ganal hampadal, inya kada takutan masuk ka hutan. Limbui sudah paluh, tagal kada taulih jua pilanduk. Tagal, lamunnya kada bakulih, inya pantang bulik ka rumah. Maginnya, nang bakahandak tu umanya. Basarusup inya, mahintipakan pilanduk di higa batang kayu ganal. Kada lawas, ada pilanduk balinjang.
“Naaah... Ninya satua nang kuhadangi tumatan tadi!” ujar Utuh dalam hati.
Wayah Utuh Talungkup handak manumbak, ada suara di atas puhun, managurnya:
“Wak, wak, wak...! Ngik, ngik, ngik...! Jangan ditumbak, Tuh ai!”  
Hulingang-hulingang Utuh Talungkup, kapulingaan mancari asal suara. Limbah dilihatinya, sakalinya nang bapandir tadi tu warik.
Takajut Utuh.
“Ikamkah, Rik, nang bapandir tadi?”
“Ngik, ngik, ngik...! Wak, wak, wak...! Hi’ih, Tuh ai! Ikam jangan manumbak pilanduk tu!” ujar warik pulang.
“Napa garang, jadi aku ditangati manumbak?”
“Ngik, ngik, ngik...! Wak, wak, wak...! Lamun ikam handak, jangan ditumbak! Tangkap haja!”
Utuh bingung, kada paham sahama-hama.
“Tangkap haja pilanduknya! Inya kada pacangan bukah jua!”
            Dasar bujur ujar warik.
            Bagamat Utuh manangkap pilanduk. Nang kaya mahadang ditangkap jua, pilanduknya kada bukah lalu wayah dikacak Utuh di puhun gulunya. Pilanduk tu dibuat Utuh dalam karung, dibawanya bulik ka rumah.
            Sampai di rumah, Utuh baasa maasah parang, sakira sasain landap. Wayah parang bahuyung ka gulu pilanduk, Utuh takajut kada sakira, malihat pilanduk tu titik banyu matanya! Maginnya wayah mandangar pilanduk tu baucap:
            “Ka Utuh...! Jangan disumbalih ulun, ka...!” ujar pilanduk mambari maras.
Malihat pilanduk tu bisa bapandir, Utuh kada purun manyumbalih. Bapadah ai inya lawan mamanya. Untungnya, mamanya kada manangati jua, pinda kada pati baliur lagi lawan daging pilanduk.
***
Baisukan hari, Utuh takajut malihat di bawah tatudung banyak banar makanan nang nyaman-nyaman. Batakun inya lawan mamanya. “Ma, piankah nang maulah makanan di tatudung tu?”
“Lain. Kada tahu jua mama, Tuh ai!” sahut mamanya.
“Siapa pang, nang bamasak ni?” ujar Utuh pulang.
“Tahu jua! Tang ada ha! Makan ha. Nyaman ai masakannya.”
Nang ngaran handak tahu, limbah tuntung makan, dihintipakan Utuh ai tatudung tu di buncu dapur. Saharianan, sampai taka malam. Satumat-satumat, dibukanya tatudung.
“Siapa jua nang mambari makanan ni? Banyak bangat,” ujar Utuh.
Saban hari, makanan nang nyaman-nyaman ada tarus. Utuh sasain panasaran. Pas malam Jumahat, dihintipakan Utuh pulang tatudung tu. Liwar takajutnya inya, malihat ada bibinian bungas parahatan bamasak di dapur.
“Siapa ikam...?!” ujar Utuh mangajuti tumatan balakang.
“Ampun, kaka Utuh! Niat ulun baik lawan pian wan mama pian,” ujar binian tu. Muhanya liwar langkarnya.
Manggatar lintuhut Utuh malihat bibinian tu. Hatinya gadugupan kada karuan. “Uuu, jadi ikam nang bamasak saban hari di rumah ni?” ujar Utuh, unggut-unggut, bapandir tapuntal-puntal, liwar gugupnya.
“Inggih, ka ai. Ulun nang saban hari bamasak di dapur, maulahakan makanan gasan pian badua. Ulun pilanduk nang pian tangkap. Ulun tamakan sumpah, lalu baubah jadi pilanduk. Lamun ada lalakian nang hakun mangawini, ulun baubah jadi manusia lagi...”
Nyata ai Utuh Talungkup hakun. Siapa jua nang kada hakun mangawini bibinian jelmaan pilanduk nang liwar langkarnya tu? Limbah dikawini Utuh Talungkup, pilanduk tu baubah jadi manusia salawasan. Habis kisah, Utuh Talungkup hidup nyaman lawan bini wan mamanya.
***
LEDAKAN TIGA BIJI LIMPASU
Mahfuzh Amin

            Alkisah, dahulu kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang sekarang bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu Garang, karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu amat zalim. Isuka memeras keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
            Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagaiselir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
            Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana, untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat niatnya tertunda.
            Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
            Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
            Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana.Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
***
            Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam hiburan pun diadakan.
            Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanyaEsokpaginya, rombongan raja dan pengawalnya pun berangkat.
            Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecualimenggunakan tangga. Raja memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambunghingga setinggi pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
            Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi selirnya.
            Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akanmenolongnya. Tapi, harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
            Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
            Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
            Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
            Datu Magat tak tinggal diam.
            Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban[17], mengolahnya menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di seberang rumah.
            Malam pun tiba.
            Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut itu hanya embun, yang biasanyaturun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
            Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
            Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
            Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
            Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endapdjendela kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.
            Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, danmenemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar,lebat dan panjang. Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
            Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
            Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu[18], dan berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabilaterdengar suara ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magatpun kembali ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
            Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magatlangsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
            Datu Magat bingung.
            Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari kencang meninggalkan istana kerajaan.
            Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
            Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, jugseluruh rakyat yang hadirdalam pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya dengan tiga biji buah limpasu.
            Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.
***


ASAL MULA KISAH KAMBING TAKUTAN LAWAN BANYU
Gusti Idra Setyawan

Wayah malam hari, di hutan Samulung, nang andakannya parak Kampung Wayau, kadangaran suara kambing. Maraga banyak binatangnya, hutan tu jarang didatangi urang. Ada dua ikung kambing nang baluman guring. Kambing anak wan mamanya.           
Bujur banyak binatangnya, takananya ada haja urang nang wani masuk ka dalam hutan tu. Nang wani masuk ka hutan tu biasanya urang nang ganal hampadal, kada balampu, atawa urang nang kada takutan mati.
Saban malam, sabaluman guring, anak kambing minta kisahakan dahulu lawan mamanya.
            “Ma, bakisah dahulu, hanyar ulun hakun guring...,” ujar anak kambing pinda ungah.
“Ayuha. Asal ikam guring, Mama hakun ai bakisah,” ujar Mama kambing. “Di hutan ni, Mama kada takutan lawan nangapa haja, Nak ai,” ujar mamanya kambing pulang, piragah jagau.
“Umai, Ma? Haratnya pang, pian, nih? Lawan macan pang, wanilah pian?”
            “Mama kada takutan! Lawan landakkah, taranggilingkah, katikihkah, ular sawakah, tadung murakah, hadupankah, macankah... Lawan gajah nang saling ganalan haja gin, Mama kada takutan. Nang Mama takutani di dunia ni, saikung haja, Nak ai. Handak tahulah, ikam?”
“Siapa, Ma? Siapa nang pian takutani?”
“Tangguhi. Siapa, nah?”
Bingung anak kambing mamikirakan.
Ayungannya, anak kambing bawani manangguh: “Pasti raksasa! Kada lain lagi! Iya, kalu, Ma?”
“Lain! Luput tangguhan ikam!” Mama kambing takurihing mandangar jawapan nang anak.
“Siapa pang, Ma?”
“Ngarannya... Eee... Handak ai Mama padahi, tagal ikam baluman cukup umur lagi, Nak ai. Lamunnya sudah ganal, kaina ikam pasti tahu saurang. Kusambat ngarannya haja gin, lah? Ngarannya, si R-i-n-t-i-k. Nah, Mama sudah bakisah, sadang sudah ikam guring....”
***
Rupanya, wayah mama kambing tu bakisah, ada macan nang umpat manalinga. Macan tu parahatan mancari makan. Sudah saharianan inya kada tadapat makanan. Niatnya nang handak marungkau kambing, batal, limbah mandangar pandiran kambing nang badua baranak tu.
Macan bapikir: “Nangapa maka kambing kada takutan lawan diaku? Nangapa maka inya takutan lawan si Rintik? Siapa si Rintik tu? Raksasakah?” ujar macan, mandam kapiu. Lawas inya bapikir, mangalamun, bakadap di bawahrapun hambawang. Padahal, inya kada macan sambarang macan, tagal dasar raja hutan bubujuran!
****
Wayah macan asyik mangalamun, kada jauh pada situ ada dua ikung urang nang bagarit minjangan. Ngarannya, Adul wan Amat.
            “Dapat juakah, Dul, kita malam ini, yu? Lamunnya kada minjangan, pilanduk atawa kijang barang...,” ujar Amat, pinda hawai.
“Tanang haja. Nang musti, kita bausaha dahulu,” sahut Adul.
Adul wan Amat maingkuti lampu damar, bajalan tarus padang kadap. Limbah anu, taranjah rapun kayu. Kada tahu dilapah, masuk hutan, kaluar hutan. Sanapang dumdum, parang, tumbak, timbaku wan makanan, langkap dibawa. Karung gin, ada jua.
Tagal, sasain jauh masuk hutan, kada talihat saikung-ikung minjangan, pilanduk atawa kijang. Baunya haja gin, kadada.
Kanapakah, parahatan Adul wan Amat bamula pusang, panglihat nang badua tu ada kijang nang saling ganalan, mancugut di padang kadap, di bawah rapun hambawang
“Mat, napa jarku tadi! Tuh, yat, di padang kadap... Napa nang saling ganalan tu?”            
“Banaran. Kada salah lagi! Kijang!” Amat kahimungan.
Nang ngaran liwar himungnya, Amat langsung maambil sanapang dumdum nang sudah baisi pilur. Tinggal ditimbakakan haja lagi.
Tagal, baluman lagi ditimbakakan, Adul sudah manangati. “Jangan ditimbak, Mat ai. Kaina mati! Kita tangkap hidup-hidup haja!”
Bajingkit-jingkit, Adul wan Amat mamaraki satua tu. Bagamat Adul maurak karung, sagan manangkap wan mambuat ka dalamnya.
“Naaah...! Dapatku...!” Adul mambuat satua tu ka karung sambil bakuciak kahimungan.
“Pacangan cair, kita, Dul ai...!”
Adul wan Amat kada tapikir, nang dibuatnya ka karung tu lain kijang, tagal macan! Macan mangira jua, nang wani manangkapnya tu pasti si Rintik!
            “Aduhhh... Iya, pang.... Ni pasti si Rintik nang disambat kambing tadi. Wani banar inya manangkap diaku, padahal aku raja hutan ni...,” ujar macan dalam hati.
Macan panasaran. Handak banar inya tahu, dimapa garang sabujurannya nang bangaran si Rintik tu? Inya bapikir, pasti si Rintik tu ganal banar awaknya.
Nang ngaran kahimungan, Adul wan Amat kada bagaduh lagi lawan isi karungnya. Naik gunung, turun gunung, masuk hutan, kaluar hutan, nang badua tu bulikan, banyanyian kahimungan.
Di tangah jalan, nang puhunnya kada tapi banyak, bulan salau-salau manarangi jalan. Muha Adul wan Amat sudah kalihatan. Dalam karung, si macan handak tahu jua, siapa si Rintik.
Bagimit, macan marabit karung lawan kukunya nang panjang landap. Dirabitnya sadikit-sadikit, asal muat di kapala. Dijinguknya satumat, masuk pulang. Dijinguknya lagi, masuk pulang.
Wayah kapala macan cangul di karung, kabalujuran Adul malihat tumatan balakang.
“Mat...! Napa nang kita bawa ni, Mat...?!” Suara Adul manggatar.
            “Kijang, Dul ai!” Amat manyahuti sambil tatawa. Inya kada paham, napa maka suara Adul pinda manggatar?
            “Lain, Mat ai! Babalang, awaknya...! Tu, tu, tu... Ma, ma, macaaan...!”
            Asa kada parcaya, bagamatan Amat bajinguk, malihati isi karung nang dihambinnya. Inya liwar takajutnya! Mata macan tu pas parahatan cangang ka inya! Saitu-saini, dihampasnya karung nang dihambinnya.
            “Brukkkkk...!” Malabuk bunyi karung dihampas saling nyaringan.
            “Aduh… Aduhh... Liwar gancangnya si Rintik ni... Dihampasnya aku, nah...,” ujar macan kasakitan.
            “Macan, macan, macaaan...! Tulung, tulung, tuluunggg...!”
            Amat wan Adul bukahan kada katanahan, bakuriak saling nyaringan, katakutanan.
            Limbah dihampas tadi, macannya bukah jua ka hutan saling lajuan. Adul wan Amat kada ingat di diri lagi, banaik ka rapun puhun nang tinggi.
***
            Di dalam hutan, macan bahabar lawan kakawalannya.
            “Siapa nang handak malihat si Rintik, raja hutan nang hanyar? Iringi aku...” ujar macan, awaknya manggatar katakutanan.
            Saitu-saini, macan-macan lain takumpulan, umpatan tulakan, bairingan.
            Di bawah puhun, wadah Adul wan Amat basambunyi, takumpulan macan, saling banyakan.
            Adul wan Amat magin katakutanan, banaik sasain tinggi. Sakira takurang jua rasa takutan, kaduanya barukuan.
            “Uma, uma, umaaa...! Api haja dimakannya! Dasar harat banar si Rintik tu!” ujar macan katakutanan.
            Nang ngaran liwar takutannya, Adul wan Amat takamih-kamih di salawar.
“Aduh, aduh...! Aku diludahinya...! Liwar hancingnya...!” ujar macan pulang.
            Malihat macan datangan tarus, Adul wan Amat batingggi lagi naik.
            Kada disangka, ayungannya:
             “Krak... Krak... Ciuuutttt... Dabukkk...!”
            “Aduh, aduh! Digugurinya pulang aku...! Sakiittt...! Bukahan, bukahaaan...!” Raja hutan bakuriak manyuruh anak buahnya.
            Limbah macannya kadadaan lagi, Adul wan Amat bagamat turunan. Sambil maurut ka pinggang, nang badua tu hancap bulikan, bukahan mancincing, katakutanan.          
            Ayungannya, raja hutan mangaku kalah, lalu maanggap si Rintik raja hutan nang paharatnya. Padahal, “si Rintik” nang disambat kambing tu maksudnya “rintik banyu hujan”. Cucuk ai sampai wayah ini kambing takutan lawan banyu...
***


ASAL MULA NAMA KAMPUNG LIANG TAPAH
Loki Santoso

            Liang Tapah adalah nama kampung di utara kaki Gunung Batu Kumpai, Kampung Garagata, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Liang Tapah berasal dari kata “liang”, yang berarti “rongga yang menyerupai goa”, “tapah” adalah nama ikan besar yang hidup di air tawar. Kini, ikan tapah kian langka. Dua nama itu digabungkan menjadi “Liang Tapah”, yang berarti “goa (ikan) tapah”.
***
            Dahulu kala, dipinggiran hutan, hiduplah pemuda bernama  Salman. Iarajin bekerja dan taat beribadah. Di sekeliling tempat tinggalnya masih berupa hutan belantara. Banyak tumbuh pepohonan besar, termasuk pohon kayuulin[19].
            Asal muasal Salman tidak diketahui. Untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia menanam padi dan sayuran, membuat gubuk dari batang kayu ulinsebagai tiang penyangga, dan kayu lain sebagai bangunan gubuknya. Waktu terus berputar, hari berganti. Lama kelamaan, warga terus  bertambah di kampung tak bernama itu.           Usai salat Magrib, Salman rajin berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alqur`an. Alunan suaranya yang merdu kadang terdengar sampai jauh. Padahal, Salman merasa tak terlalu nyaring saat mengaji. Suaranya membuat warga kampung tetangga memintanya menjadi guru mengaji bagi anak-anak. Dengan senang hati, Salman bersedia.
            Kehidupan terus berjalan. Tak terasa, usia Salman terus bertambah, tapi ia belum berniat hidup berumah tangga. Di samping bercocok tanam, sehari-hariia mencari ikan dengan cara  bagalau [20] dan memasang lukah[21]
            Pagi-pagi sekali, usai salat Subuh, Salman mengambil lanjung[22]  
            Dengan menggendong lanjung dan parang di pinggang, Salman bermaksud  melihat lukah yang dipasangnya kemarin. Di pinggir sungai, ia dikejutkan oleh daun-daun pakis yang bergoyangan, seakan dilanda sesuatu yang besar sekali.
            Setiba di tempat tujuan, Salman kaget bukan kepalang saat melihatlukah-nya hancur berantakan. Sambil memeriksa perangkap ikan itu, ia bertanya-tanya dalam hati:  ikan sebesar apa yang telah merusak lukah-nya?
            Salman mengambil lukah-nya untuk diperbaiki di pondok.
            Ketika melewati daun-daun pakis yang bergoyang-goyang tadi, Salman mengamati lagi dengan lebih cermat. Ia ingin menyusuri sungai yang menyerupai danau itu, untuk mengetahui apa gerangan yang membuat daun-daun pakis tadi bergoyangan. Tapi, diurungkannya niatnya. Hari sudah jelang siang. Ia harus menyirami tanaman jagungnya yang mulai berbunga. Saat di gubuk, hatinyagelisah, penasaran dengan yang dilihatnya di danau tadi.
***
            Tengah malam di musim kemarau itu, Salman bermimpi bertemu dengan orang yang berpakaian seperti pengawal kerajaan. Orang itu berkata, “Susuri danau dan sungai berbatu itu, hingga ke kaki bukit. Niscaya akan kautemukan jawaban atas pertanyaanmu...”
            Tanpa berpikir panjang, esok harinya Salman mengikuti petunjuk dalam mimpinya. Disusurinya sungai, hingga ke kaki bukit. Ia terkejut melihat ombak besar bergulungdan alur gelombang yang menghilang di kaki bukit batu kapur.
            Setibanya di alur air itu, ia makin terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Seekor ikan besar sedang menyelinap masuk ke sebuah liang! Didekatinya liang itu, sambil berpikir: bagaimana cara menangkapnya? Kalau dapat, daging ikan itu akan dibagi-bagikannya kepada tetangga dan murid-murid mengajinya.
***
            Di gubuknya, Salman terus memikirkan cara agar dapat menangkap ikan itu. “Aku harus bangun lebih pagi,” pikirnya. “Akan kuintai dahulu ikan itu saat keluar. Kujaga di muara liangnya, sebelum ia kembali masuk. Hanya itu caranya ...”
            Malam harinya, Salman bermimpi didatangi sepasang manusia berpakaian aneh, dengan raut wajah sedih. Yang perempuan menatapnya dengan wajah memelas. “Kumohon, jangan kauteruskan niatmu itu...,” katanya, sebelum lenyap.
            Salman bingung, hingga tak dapat memejamkan matanya hingga subuh.Setelah salat Subuh, diambilnya lanjung dan parang, berangkat dengan tekad bulat menangkap ikan besar itu.
            Tak berselang lama, Salman tiba di tempat tujuan.
            Diturunkannya lanjung dan dihunusnya parang, mengendap-endap perlahan mendekati liang. Matanya meneliti tanda-tanda di sekitarnya. Tampaknya, ikan itu tengah keluar mencari makan, karena dedaunan pakistampak rebah, berlawanan arah dengan muara liangnya.
            Di tempat persembunyiannya, Salman melihat ada gerakan-gerakan lembut pohon pakis, beberapa meter di depannya. Jantungnya berdebar-debar, saat gerakan itu kian mendekati tempat di mana ia berada. Ikan itu sedang menuju liangnya!
            Saat melihat ikan itu berkelebat di bawah permukaan air, secepat kilat Salman menghunjamkan parangnya. Air bergolak dan tiba-tiba berwarna merah darah. Seekor ikan besar menggelepar-gelepar meregang nyawa, tepat di muara liang.
            Dengan senyum penuh kepuasan, Salman menyeret ikan besar itu, memotong-motongnya, dan memasukkannya ke dalam lanjung. Di gubuk, Salman memperkecil potongan ikan itu untuk dibagi-bagikan, sesuai dengan jumlah tetangganya.
            “Di mana guru mendapatkan ikan ini?” tanya warga yang berdatangan.
            “Di muara liangnya,” jawab Salman.
            “Ini ikan tapah!” seru warga lainnya.
            “Alhamdulillah. Semua ini berkat dari Allah,” sahut Salman. “Bagaimana kalau kampung ini kita namai Kampung Liang Tapah?”
            “Barrakkallaaah... “ sahut warga, setuju.
***
            Di sekitar liang itu, ada lubuk yang pernah dipenuhi ikan tapah. Lubuk itu kini dinamakan Luk Hijau. Menurut warga, kadang-kadang terlihat ikan tapah disitu,  tapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Warga yakin, itu adalah pasangan ikan tapah yang telah ditangkap Salman.
***


PUHUN BINJAI WAN PUHUN JINGAH
Muhammad Fitriadi

Ujar urang, di Luuk Suntul, nang wayah ini bangaran Kampung Wayau, bahari ada karajaan. Karajaan tu wadah singgah wan mandian bubuhan raja-raja, bila bubuhan raja-raja tu handak tulakan bakapal.
Rajanya bangaran Raja Simamarta. Raja Simamarta banyak baisian tanaman, nang kakaya langsat, rambutan, tiwadak, kapul, ramania, banyak ai lagi.
Raja Simamarta baisian tanaman nang paling disayanginya: puhun jingah wan binjai, nang tumbuh di tabing sungai, di balakang istana karajaan. Raja mandangar habar, ada tanaman nang lamunnya diparaki, urang bisa gatalan.
Balalu, Raja mangiau Patih.
            ‘Patih Tangkar, cuba pang ikam lihatiakan tatanaman nang ada di karajaan ni. Pandangarku, ada tanaman nang bisa maulah urang gatalan wayah diparaki. Tanaman napa tu?’’ ujar Raja.
            “Ayuha, Raja ai. Halaman pian pasti ulun jaga, Kada pacangan ada maling nang wani masuk. Lamunnya ada jua, nih, bahadapan lawan ulun, Patih nang panjagaunya di karajaan ni...,’’ ujar Patih Tangkar kapiragahan.
            ‘’Nah, ham. Luput sakalinya! Ni duit, nah! Tagal, ikam  lihatiakan dahulu tatanamanku nang ada di kabunku, limbah tu hanyar sabarataan nang ada di karajaan.’’
            “Bah, Raja ni... Jaka bapadah tumatan tadi handak minta lihatiakan kabun pian, sudah am ulun lihatiakan...’’
            Balalu, Patih Tangkar tulak ka kabun.
Patih Tangkar ni urang paling jagau, paling sakti. Kadada tu pang nang wani malawaninya. Sauting haja kakurangannya: urangnya tuli biruangan, tatulian, kada tapi mandangar. Lamunnya diunjuki duit atawa pamakan, hanyar inya mandangar.
Sampai di kabun karajaan, Patih Tangkar tulih kanan, tulih kiwa. Kadada nang pinda ganjil. Tarus ai inya bajalan ampah ka tabing sungai, tadapat puhun binjai wan jingah. Ni-kah satua nang bisa maulah warga karajaan gatalan?
‘’Ui, jingah...! Ikamkah nang maulah urang gatalan?’’ ujar Patih Tangkar.
‘’Kada, Patih ai!’’ ujar jingah.
            ‘’Iya banar, Patih ai! Bujur! Inya nang maulah urang gatalan! Limbah urang gatalan, disuruhnya urang mangawininya, jujuran[23]-nya harang wan duitbinggulbaigal kada babaju, mangulilingi rapunnya...!” ujar binjai, manyahuti
            ‘’Ikam bangat  lagi, binjai ai! Lamunnya urang gatalan, ikam suruh urang mamupuri, sambil baigal-igal!’’ ujar jingah kada hakun kalah.
            ‘’Hau...? Ampihan, ampihan sudah! Jangan bakakancangan lagi! Biar masalah ni kukisahakan dahulu lawan Raja. Kalu pindsidin tahu, dimapa maurusikam nang badua ni...,’’ Patih Tangkar manangahi.
            Bulik Patih Tangkar ka istana, balapur lawan Raja.
***
            Di istana, Raja sudah basadia duit sagan Patih Tangkar. Raja tahu banarlawan panyakit anak buahnya nang saikung tu.
            ‘’Badimapa, Patih? Nangapa garang maka rakyat karajaan gatalan?”
            ‘’Tahu ai sudah ulun, Raja ai,’’ Patih Tangkar hancap manyahut, limbah talihat duit
            ‘’Lakasi padahi! Nangapa maraganya maka rakyat gatalan?!’’ ujar Raja Simamarta, kada sabar lagi.
            ‘’Maraganya, puhun jingah wan puhun binjai bakalahi, Raja aiInya badua tu bahaharatan, bagaganalan awak!”
             ‘’Hau...? Dintukah? Lamun damintu, ikam haja sudah nang maurusnya. Ikam nang pamintarnya, panahunya, di karajaan ni. Lamunnya ikam nang maurusnya, bahara kadada masalah lagi,’’ ujar Raja, maambung Patih Tangkar.
           Patih Tangkar liwar himung diambung. ‘’Ulun ni lambat disuruh haja, Raja ai. Baya masalah puhun ha...’’
***
            Talu hari talu malam Patih Tangkar mahaluwat, kada taulih jua dimapacaranya. Balalu, inya manukui puhun jingah wan puhun binjai tu. Sampai di tabingbanyudiitihinya puhun nang badua tu.
‘’Asa mustahil puhun bisa maulah urang gatalan. Mustahil lamun kadadasababnya....’’ Patih Tangkar gagarunum dalam hati. Dikulilinginya rapun jingah wan binjai tu. Parahatan inya bakuliling, titik banyu nang kaya gatah, matan atas puhun tu.
Dijapainya banyu nang titik tu. Kada lawas, di awaknya timbulan habang-habang, babaial-bial, gatal!
‘’Bah…. Ni pang sakalinya nang maulah urang gatalan tu! Kada maraga napa-napa sakalinya. Ni maraga kana gatah jingah wan binjai haja!’’
Rupanya, wayah turun mandi ka batang, urang diguguri gatah jingah wan binjai nang banyak tumbuh di tabing. Bisa jua urang kada singhaja tajapai rapunnya, balalu kana gatahnya. Urang nang gatalan tu lalu disambat “kajingahan”, “kabinjaian”.
Bulik ai Patih Tangkar ka istana, baulah tatamba gatalan, balapur lawan Raja. Mandangar lapuran Patih, Raja mangiau pangawal, lalu baucap: “Wayah ini jua, jauhakan puhun binjai tu pada puhun jingah! Jangan diparakakan lagi!”
Tulakan ai bubuhan pangawal, manjauhakan puhun badua tu. Makanya, wayah ini kaduanya kada lagi tumbuh bahigaan. Jingah tumbuh di tabing sungai, binjai di tangah hutan. Di kampung, lamunnya “kajingahan” atawa “kabinjaian”,urang kada lagi baigal wan mamupuri puhun tu. Tagal, ada haja jua pang nang masih damintu.
***
SI PUJUNG JADI BATU
Lilies MS

Di Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, ada Kampung Pujung. Di pinggiran kampung itu, ada patung batu. Patung yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria itu konon alat kelamin Pujung, setelah dikutuk ibunda Putri Tunjung Sari, istri Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri.
Sebelum Kerajaan Banjar berdiri, ada kerajaan Dayak Maanyan bernama Kerajaan Nan Sarunai. Seiring dengan itu, ada Kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri dipimpin raja yang bijak bestari. Dalam memimpin, raja didampingi patih yang arif, tangkas dan cerdas, bernama Mahapatih Mahe.
Mahapatih Mahe yang berdarah Melayu hidup berbahagia dengan istri dari keturunan Raja Nan Sarunai. Dari perkawinannya, ia mendapat anak laki-laki, yang kemudian bermukim di Barito (Barito Timur sekarang), dan menjadidamang[24] di sana. Seorang lagi, Putri Tunjung Sari, kecantikannya sudah tersohor ke mana-mana, bukan hanya ke Sungai Bahan dan Sungai Negara, tapi ke seluruh penjuru negeri.
Putri Tunjung Sari bersahaja, berbudi luhur, terampil dan cerdas. Teman-temannya sangat menyukainya. Ia pandai menari dan menyanyi. Setiap panen raya, Putri Tunjung Sari dan teman-temannya memeriahkan pesta dengan menarikan tarian kurung-kurung dan gintur [25]. Banyak pria jatuh cinta padanya.
***
Berseberangan sungai dengan Kerajaan Tanjung Puri, ada seorang saudagar yang kaya raya. Ia memiliki kebun yang amat luas, bermukim di daerah Pitab, batang Balangan[26]. Saudagar itu berasal dari Suku Dayak Pitab, Balangan. Ia menjual hasil ladang dan kebunnya di Kerajaan Tanjung Puri.
Saudagar kaya itu memiliki putra bernama Pujung.
Pujung memiliki kesaktian yang luar biasa. Tenaganya luar biasa. Tubuhnya tinggi, besar dan kekar, mata agak sipit, alisnya tebal seperti golok. Konon, dengan tangan telanjang saja ia mampu mematahkan dan membelahbatung[27].
Pujung pandai memainkan mandau[28], sumpit dan kuntau[29], juga menari. Di balik tubuhnya yang kekar, dapat menari dengan lincah, mengikuti irama kenong, dengan gerak gintur-nya. Tapi, sifatnya tidak sabaran, kalau sedang marah meledak-ledak.
Saat panen raya tiba, rakyat Kerajaan Tanjung Puri bergembira ria atas hasil ladanga dan kebun yang melimpah ruah. Mereka mengelar pesta rakyat,aruh[30] adat. Aruh adat selalu diramaikan dengan tari-tarian. Tari gintur dankurung-kurung digelar, Putri Tunjung Sari bersama empat temannya pun menari.
Setelah tari kurung-kurung usai, dilanjutkan tari gintur, dengan iringan musik kenong, gong, babun[31] dan kulimpat[32]. Penarinya masih Putri Tunjung Sari bersama kawan-kawannya, tapi dengan jumlah penari lebih banyak, ditambah balian[33]. Pada saatnya, balian mengajak penonton menari, menariknya dengan selendang kuning atau putih, dan bersama-sama memainkan tongkat batang patake. Ini dinamakan bagintur [34], salam penghormatan kepada para tokoh yang hadir di pesta.
Pujung juga diundang bagintur.
Tak disangka, ia dipasangkan menari dengan Putri Tunjung Sari, gadis yang telah mencuri perhatiannya saat mandi di batang banyu[35]. Bagi Pujung, ini bagai mukjizat, peristiwa yang dimpikan banyak pria. Hati siapa tidak berdebar, saat menari bersama gadis pujaannya?
Sambil menari, Punjung berkata, ”Tunjung, aku masih boleh menemuimu, ‘kan?”
Putri Tunjung Sari hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis.
Ketika tarian usai, Pujung tak menyia-nyiakan kesempatan. Sembari menutup langkah akhir gerakan kaki, ia menatap mata indah Putri Tunjung Sari, dan berbisik, “Putri yang jelita, terima kasih untuk kesempatan ini. Aku takkan melupakannya...”
Putri Tunjung Sari hanya menampakkan giginya yang berkilau rapi, sambil undur diri.          
***
            Pertemuan itu memberi kesan yang mendalam bagi Pujung. Tak sedetik pun waktu berlalu tanpa bayangan Putri Tunjung Sari. Hatinya tak keruan. Ia tergila-gila pada gadis itu dan bermaksud memilikinya.
            Pagi harinya, di pinggiran sungai, Pujung menyanyi sambil menjaga babi-babi piaraannya. Suling ditiupnya, dibawakannya sebuah nyanyian. Syair lama tentang peristiwa tragis di Kerajaan Nan Sarunai, akibat serangan Majapahit[36], yang akhirnya memunculkan kepemimpinan Uria Pitu[37].
            Suara suling Pujung yang merdu membuat yang mendengarnya terlena.
            Tapi, tiba-tiba suara suling itu berubah dengan nada lain yang memekakkan telinga. Sepasang jin telah merasuki jiwa Pujung. Jin jahat itu menggoda, membujuk, dan membakar syahwatnya.
            Pujung tak kuasa menahan syahwatnya.
            Dengan mata merah, liar dan beringas, ia bergegas ke tebing sungai. Saat itu Putri Tunjung Sari dan teman-temannya sedang mandi dan mencuci. Pujung berteriak-teriak, memanggil Putri Tunjung Sari dan mengajaknya bercinta.
            Putri Tunjung Sari dan teman-temannya ketakutan melihat tingkah Pujung yang aneh. Mereka lari ketakutan, hingga akhirnya Putri Tunjung Sari tertinggal sendirian di belakang.
            Pujung semakin menggila, nafsu berahi makin menguasainya. Putri Tunjung Sari lari lintang pukang.
            Saat terpojok di tebing, tubuh Putri Tunjung Sari limbung dan terjatuh ke dalam sungai. Ia menjerit sekuat tenaga. Suaranya menghilang, saat tubuhnya masuk ke dalam pusaran arus air yang bergolak.
            Saat itulah, Pujung sadar. Sepasang jin terkekeh, keluar dari jiwanya. Pujung panik dan kebingungan. Ia mengiba-iba, penuh penyesalan. “Tunjung... Maafkan aku, Tunjung! Maafkan aku, wahai pujaanku...!”
Pujung melompat dan menceburkan diri ke dalam sungai, menyelam sekuat tenaga, dengan cinta dan penyesalan. Dengan kesaktiannya, dibendungnya sungai itu hingga kering dan terbelah dua[38]Tapi, usahanya sia-sia. Putri Tunjung Sari tak ada. Penyesalan menyiksa hati Pujung. Gadis pujaannya telahlenyap terbawa arus, dan hilang entah kemana.
Senja pun tiba. Langit gemuruh. Hujan turun amat derasnya, bagai gelombang yang ditumpahkan dari langit. Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh, marah dan murka. Dimaki-makinya Pujung, karena telah membuat anak gadisnya hilang. Dengan air mata berlinang dan tubuh gemetar, istri Mahapatih Mahe itu bersimpuh, bersujud ke langit, dan memohon:
            “Ya, Tuhan... Karena menuruti hawa nafsu, terkutuklah engkau, Pujung! Agar setimpal dengan perbuatannya, buatlah alat kelamin Pujung menjadi batu! Tuhan, tunjukkan kekuasaan-Mu! Terkutuklah engkau, Pujung, terkutuklah...!”         
            Langit semakin gemuruh. Hujan dan badai mengamuk, mengaduk-aduk seisi alam. Guntur dan petir bersahut-sahutan, membahana membelah angkasa.
***
            Ketika hujan dan badai reda, alat kelamin Pujung telah berubah menjadi batu. Putri Tunjung Sari konon terbawa arus sungai ke Kerajaan Negara Dipa, yang terletak di Hujung Tanah, pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai Negara. Di pinggir sungai, Putri Tunjung Sari diselamatkan Empu Jatmika, yang kemudian bergelar Maharaja di  Candi Laras[39].
            Empu Jatmika memiliki dua putra, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Sepeninggal Empu Jatmika, Lambung Mangkurat mengangkat Putri Tunjung Sari, yang entah benar atau tidak, juga disebut “Putri Junjung Buih”, menjadi Raja di Negara Dipa; dan kekuasaannya meliputi batang Tabalong,batang Balangan, batang Perak, batang Alai, batang Amandit dan pegunungan  di sekitarnya.                                  Tempat di mana patung alat kelamin Pujung itu berada, sekarang disebut Kampung Pujung, di Kecamatan Bintang Ara; berbatasan dengan Kecamatan Haruai, terhubung dengan jembatan panjang peninggalan kolonial.
            Kalau sedang menuju Kecamatan Tanjung, orang akan melewati Jembatan Mahe, yang terletak di Kampung Mahe, Kecamatan Haruai. Nama itu berasal dari nama Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri, ayahanda Putri Tunjung Sari.
***


SI DIANG  BAKUT
H. Akhmad T. Bacco

           Syahdan, di  Kampung Timbuk Bahalang[40], Haruai, hiduplah seorangpetani bernama Raden Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita, baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin.
            Mereka keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai. Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja.Akhirnya, mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang.
            Kampung itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyanDeah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau [41], kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda kepahlawanan.
            Di kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya. Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggangbarahmatahadungansinggah manginangbuntal, dan lain sebagainya. Ikan daratnya, haruanpapuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan yang sekarang mahal harganya, yaknibakut [42]. Di sinilah awal kisah.
***
            Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
            Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
            Duduk melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya, “Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan....”
            “Ya, Kakanda.”
            ”Betapa bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.”
            “Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang cantik dan berkuasa.”
            “Huss, Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan lagi...”
            ”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.”
            “Ya, tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu. Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita akan repot...”
            “Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.”
            Jelang sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat cantik.
            Upacara syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat[43]dan baaruhan[44]Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya diadakan karasmin[45], dengan manuping[46].
            Penari wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka[47],diiringi gendang karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul[48].
            Semakin malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir menjelang dini hari.
***
            Dengan berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah danlemah-lembut,  Putri Aima suka menyendiri.
            Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohonlua. Putri Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi pendamping hidupnya kelak.
            Ia selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang tahun. Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu.
            Putri Aima mampu bicara dengan pelanduk.
            “Hai, pelanduk!”
            “Hai, Putri Aima...,” sahut pelanduk.
            Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
            “Dekat sini saja,” jawab pelanduk.
            “Boleh aku ke tempatmu?”
            ”Boleh, jawab pelanduk lagi.
            Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang. Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa.
            Tak lama kemudianmuncul seorang pemuda tampan.
            ”Selamat datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hatiPutri Aima bergetar memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk!
            Putri Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman.Dengan ramah, pemuda itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalamgoa. Ternyata, di sana ada kolam yang luas dan berair jernihSaat pemuda tampan itu mengajaknya berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air. Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran kesungai.
            Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikanberwarna hitam. Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang samaberusaha menenangkan Putri Aima yang terkesima, dan mengajaknya bicara.
            “Putri Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk Bahalang ini. Kami sering kehilangan warga kami. Warga senangmenangkap ikan. Mereka telah menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aimakami ambil sebagai pengganti...,“ kata ikan hitam itu.
            “Oh... Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
            “Bisa. Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci...”
***
            Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunyayang amat dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh wargakampung berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru[49].
            Semua upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukundimintai bantuan. Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup,tapi entah di mana.
            Kenanga Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah Putri Aima, dalam wujud ikan bakut,  melompat ke ataslanting[50].
            ”Ibundaaa....!”
            Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh...Siapa engkau? Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
            “Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima diminta sebagai gantinya.”
            “Oh, Anakku... Bisakah engkau kubawa pulang?”
             “Bisa, Bunda. Ulun[51] bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu Ibunda dan Ayahanda.”
            Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada suaminya.
            “Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harusbersabar,” kata Raden Pelewangan.
            Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri Aima.
            “Ayahanda...! Ibundaaa...!” seru Putri Aima sambil menangis danmemeluk kedua orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima disebut “Putri Ikan”, atau “Si DiangBakut”.
***
            Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati banyak ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap  ikan itu, sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikanbakut juga berhasiat sebagai obat.
***
LEGENDA ARYA TADUNG WANI
Abdul Hanafi

Pada zaman dahulu kala, di pinggir Kampung Paramian[52]hidup orang yang bergelar Datu Harung. Nama aslinya Datu MagatDahulu, gelar “datu”hanya diberikan kepada orang-orang yang dihormati dan mempunyai keistimewaan.
   Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli bercocok tanam, juga ahli dalam mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi berkebun.Sebelumnya, masyarakat mendapat buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar di hutan, atau dari pohon yang tumbuh dari biji yang dibuang orang. Datu Magat kemudian memulainya dengan berkebun, dengan cara tumpang sari.
Kebun Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanakmundarkatapi suntulkalangkala. Dari jenis rambutan, adamaritamsiwaupitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin,kamundailikullayungkaratungan. Dari jenis mangga, ada hambawang,hampalamkuinipulasanrarawakasturikulipisan, sampai tandui.
   Bukan hanya nangka, tiwadaktarap dan pupuan yang ditanam Datu Magat, tapi juga langsat. Langsat Tanjung dikenal paling manis dibandingkan langsat dari daerah lain. Pohon belimbing tumbuh hampir di setiap pekaranganrumah penduduk. Cara bertanam kebun buah-buahan yang dilakukan Datu Magat disebut harung. Oleh sebab itu,  Datu Magat juga dijuluki  “Datu Harung”.
***
   Datu Harung memiliki adik perempuan bernama Diang Dadukun. Parasnya tidak terlalu cantik, tapi wajahnya membuat damai hati yang memandangnya. Wajahnya bulat telur, selalu tersenyum, rambutnya panjang, lurus, terurai indah. Kesejukan wajahnya cermin kelembutan hatinya, yang terungkap dari  tutur katanya. Tutur katanya halus dan lemah-lembut.
   Karena keelokan wajah dan kehalusan budi pekertinya, orang-orang memanggilnya “Putri Mayang”. Ada pula yang memanggilnya  “Diang Wangi”.Walaupun belum bertemu orangnya, kehadirannya dapat diketahui dari aromatubuhnya yang  tercium di kejauhan.
   Tapi, rupanya wajah yang elok tidak selalu mendatangkan kebahagiaan.
   Tubuh Diang Wangi yang harum ternyata mengundang berahi makhluk lain yang berkeliaran di malam hari. Ketika itu, sejak sore hujan turun dengan lebatnya. Tengah malam, udara dingin menusuk tulang. Tanah becek dan berlumpur. Tak ada suara jangkrik, hanya gemercik sisa air hujan yang menetes di dedaunan. Suasana sunyi senyap. Warga malas keluar dan lebih suka tidur di rumah.
   Saat itulah, sesosok bayangan hitam berkelebat di rumah Datu Harungyang bertiang tinggi. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar pekik tertahan, disusul suara rintihan dari rumah kayu beratap rumbia itu. Menjelang dini hari, bayangan hitam itu berkelebat secepat kilat ke arah hutan, dan menghilang di kegelapan.
Pagi harinya, Datu Harung dan istrinya Diang Sasar terkejut melihat Diang Dadukun menangis tertelungkup, mendekapkan bantal ke wajahnya. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tangisan.
 “Kenapa, ding[53]? Kenapa menangis? Sakit perut?” tanya Diang Sasar.
Diang Wangi tidak menjawab. Bantal kapuk yang basah bersimbah air mata,  menutupi wajahnya.
   Datu Harung menangkap gelagat lain. Ia bertolak pinggang. Napasnya tertahan. Di antara aroma kamar Diang Wangi, hidungnya mencium bau asing. Seperti bau keringat lelaki. Matanya menyapu sekeliling, dan terkejut ketikamelihat jendela yang terbuka.
   Datu Harung menghampiri jendela. Tangannya bertumpu pada bingkai jendela, lalu menengok ke bawah. Di tanah, tampak bekas-bekas jejak kaki. Ia memberi isyarat kepada istrinya, yang segera menghampiri.
   Datu Harung berbisik kepada istrinya. Diang Sasar duduk kembali di pinggir dipan, merangkul bahu adik iparnyanya itu. Diang Wangi jugamerangkulnya, sambil terisak-isak. Datu Harung berdiri tegang memandangi adiknya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.
   “Katakan, siapa laki-laki yang masuk ke kamarmu tadi?!” Datu Harung marah.
   “Aku tak dapat mengatakannya, Kak, karena...”
   “Karena apa?!“
   Diang Sasar mengedipkan mata kepada suaminya. Datu Harung diam mematung, menahan marah.
   Ading kenal laki-laki itu?“ tanya Diang Sasar lembut.
   Diang Wangi menggeleng..
   “Lalu, siapa durjana itu...?!” Datu Harung membentak.
   Diang Sasar menempelkan telunjuk ke bibirnya, kembali memberi isyarat pada suaminya. Datu Harung membalikkan badan, membelakangi istri dan adiknya dengan wajah merah padam. “
   “Jadi, kau benar-benar tidak tahu?” tanya Diang Sasar lagi, setelah menyuguhkan secangkir air putih untuk menenangkan Diang Wangi.
Ulun tidak tahu, Kak. Saat ulun guring[54] tiba-tiba dada ulun terasasesak...,” sahut Diang Wangi. “Ulun terkejut... Ada tubuh besar menindihulun...”
            Datu Harung dan Diang Sasar menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut Diang Wangi. Wajah Diang Wangi tertunduk, bercerita sambil memainkan kuku jari-jarinya. 
Kau sempat melihat wajahnya?” tanya Diang Sasar lagi.
Diang Wangi menggelengkan kepalanya lagi. Menangis semakin nyaring.
Aku tak dapat melihat. Pandangan mataku gelap...”
“Maksudmu?”
Aku tak bisa membuka mata, Kak. Rambutnya panjang sekali, menyapu dan menusuk mataku. Ketika aku hendak berteriak, tangannya membekapku. Tubuhnya besar sekali, berat dan berbau. Aku tak dapat bernapas! Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi...” 
Datu Harung dan Diang Sasar sadar, Diang Wangi telah digauli makhluk asing.
“Ini tak dapat dibiarkan! Aku harus menangkapnya! Jahanam itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru Datu Magat sambil mengulungkain sarung yang dikenakannyamengikatkannya ke pinggang. Tanpa menoleh lagi, ia pergi.
***
   Datu Magat mengikuti jejak-jejak kaki yang masih membekas di tanah basah. Ukuran tapak kaki itu tidak normal. Besar sekali! Tapak kaki itumengarah ke hutan, tampak dari lumpur basah yang menempel di rerumputan.
   Setibanya di bawah sebatang pohon besar, alangkah terkejutnya Datu Magat. Seorang pria raksasa sedang tertidur lelap di bawah sebatang pohonpulantan!
   Pria raksasa yang hanya mengenakan cawat kulit kayu itu mendengkur keras sekali. Kemarahan Datu Magat mengalahkan rasa takut pada makhluk yang telah menodai adik kandungnya itu. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak menendang raksasa itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.
   Sifat ksatrianya, muncul. “Kalau ia kubunuh selagi tidur, berarti akuseorang pengecut...,” ujar Datu Magat dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, dicobanya membangunkan raksasa itu dengan menghentakkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. Tapi, makhluk itu masihterlelap. Ditendangnya banir pulantan tempat makhluk itu bersandar, tapiraksasa itu bergeming.
Datu Magat hampir kehabisan akal. Untuk menyentuhnya, ia merasa jijik.
   Datu Magat kemudian menggunakan cara lain untuk membangunkannya. Bulu kaki raksasa itu ditapung-nya[55]. Setelah ikatannya dirasa cukup kuat, disentakkannya bulu kaki itu dengan sekuat tenaga. Raksasa itu tiba-tiba terbangun, meringis memegangi tungkainya. Ketika melihat Datu Magat bertolak pinggang dengan marah di hadapannya, raksasa itu langsung bersimpuh.
“Oh, Kakak...!” seru raksasa itu, mengiba-iba.
“Hei...! Beraninya kau menyebutku kakak!? Perbuatanmu telah menghancurkan martabat keluargaku!” Datu Magat menuding wajah raksasa itu.
   Wajah raksasa itu seketika pucat pasi. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia sadar sedang berhadapan dengan Datu Magat. Raksasa itu tidak berani mengangkat wajahnya. “Ampuni aku, Kakak! Maafkan kesalahanku. Akusuka Diang Wangi, tapi tak berani berterus terangTiap kali melihat Diang Wangi, aku tak dapat menahan diri. Kalau Andika[56] ingin membunuhku, bunuhlahsekarang. Aku takkan melawan...,” jawab raksasa itu.
   Mendengar pengakuan jujur raksasa itu, hati Datu Magat luluh. Lebih-lebih, raksasa itu telah berterus terang mengakui perbuatannya.
“Engkau kuampuni,“ jawab Datu Magat pendek.
Ulun akan mempertanggungjawabkan perbuatan ulun. Kalau kakak berkenan, kawinkan ulun dengan Diang Wangi.”
   Datu Magat terpaku sejenak. Maukah adiknya dikawinkan dengan makhluk gaib bertubuh raksasa itu? Kalau tidak, bagaimana dengan aib yang ditanggungnya?
   “Baiklah, kau akan kukawinkan dengan Diang Wangi,” sahut Datu Magat.
   Maka, dikawinkanlah Diang Wangi dengan makhluk raksasa yang telah menodainya itu. Saat ditanyai, raksasa itu tak dapat menyebutkan asal muasalnya. Dia hanya mengaku berasal dari “daerah atas”. Mungkin maksudnya adalah “atas bukit”, sebab ia menunjuk ke arah Pegunungan Meratus.  
   Suami Diang Wangi yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki berbagai kesaktian. Tubuhnya kebal, bisa menghilang dan, yang menakjubkan: ia mampu menembus tanah.
   Tapi semua kesaktian itu tak mampu meluluhkan hati isterinya. Diang Wangi membenci pria raksasa yang telah menodainya. Ia tidak mampu melupakan peristiwa jahanam itu, lebih-lebih kalau melihat tubuh suaminya yang besar, kekar, kasar, dan bersisik seperti ular.
   Perkawinan mereka tak berlangsung lama. Sepekan kemudian, suami Diang Wangi menyampaikan kata perpisahan. Ia merasa percuma bertahan dalam hubungan yang tidak sejalan.
***
   Tiga purnama setelah suaminya pergi, Diang Wangi menyadari, bahwa iatelah hamil. Ia takut sekali, kalau-kalau wajah anaknya akan mirip ayahnya. “Ih,jauhakan bala...[57], katanya sambil meludah.
   Kian hari, perut Diang Wangi kian membesar. Ia malu keluar rumah,akibat perkawinannya yang tidak diaruhakan[58] seperti kebiasaan.
   Setelah sembilan bulan sembilan hari, tanda-tanda kelahiran mulai dirasakan Diang Wangi. Sehari semalam perutnya sakit luar biasa. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi, setelah dukun beranak berkatabahwabayi yang dikandungnya besar sekali.
   “Duh, Gusti... Anakku akan serupa dengan ayahnya yang raksasa...,” keluh Diang Wangi.
   Setelah meminum ramuan pilungsur[59], lahirlah seorang bayi laki-laki. Diang Wangi merasa lega. Ternyata, wajah putranya tidak mirip ayahnya! Hanya tubuh besarnya saja yang ukurannya melebihi bayi normal. Ada tanda aneh di leher bagian belakang, serupa sisiksebesar binggul.
   Bayi besar itu diberi nama “Arya”. Diduga, sisik di lehernya adalahketurunan dari ayahnya. Ternyata, anak itu juga kebal sejak lahir. Pisau dan benda tajam tak dapat melukainya.
   Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan, dan rajin membantu ibunya. Ia anak yang baik dan disukai kawan-kawannya. Arya mahirbagasing[60]balugu[61] atau bacirak[62]. Ia selalu unggul dalam permainan.
   Menjelang remaja, Arya sudah menguasai berbagai kecakapan hidup, seperti berburu, membuat perangkap ikan, dan ilmu pertanian yang ia pelajari dari saudara tua ibundanya, Datu Harung, yang disebutnya Julak[63]. Dari julak-nya itu pula, ia mempelajari pencak silat bangkui[64]. Meskipun gerakannya persismonyet, seni bela diri bangkui tak bisa dianggap sepele. Apa lagi saat dipadukandengan jurus tadung sawa[65], makin sempurnalah ilmunya.
     Saat menggunakan jurus tadung sawa, Arya tampak bergerak tenang, meliuk-liuk lembut, layaknya seekor ular. Saat posisi lawannya terbuka, secepat kilat ia menyambar dan menguncinya, membuat lawannya tak berkutik. Karena ilmunya itu, namanya menjadi “Arya Tadung Wani”[66].
***
   Suatu hari, Arya duduk santai bersama ibunya di beranda rumah. Entah mengapa, tiba-tiba Diang Wangi menjunjuk tiga ekor burung yang hinggap di dahan“Lihatlah burung itu, Nak. Salah satu di antaranya, pasti anaknya.”
   “Lalu, yang dua ekor lagi?” tanya Arya
   “Pasti induknya.
   Arya menatap mata ibunya dalam-dalam, kemudian bertanya dengan hati-hati:
   “Bunda, di mana ayahku?”
   Diang Wangi terkejut mendapat pertanyaan itu.
   Memang, selama ini Diang Wangi tak pernah menceritakan siapa ayah Arya yang sebenarnya. Ia khawatir, anaknya akan malu. Lama ia terdiam. Wajahnya yang tadi ceria, seketika berubah muram. Bayangan masa lalunyakembali teringat. Matanya berkaca-kaca. Perlahan air mata turun membasahi pipinya.
   Melihat ibunya menangis, Arya menyesal. Ia merasa bersalah telah menanyakan hal itu. “Maafkan Arya, Bunda. Arya membuat Ibunda sedih....
   “Tak apa-apa, Nak. Sudah saatnya engkau mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya,” sahut Diang Wangi, sambil membelai rambut Arya Tadung Wani.Diang Wangi menceritakan peristiwa yang dialaminya, hingga kelahiran putranya itu.
   Sejak saat itu, setiap malam Arya Tadung Wani tak bisa lagi tidur nyenyak. Cerita ibunya telah menghantuinya. Ia ingin menemui ayahnya. Saat keinginan itu disampaikannya kepada ibunya, Diang Wangi tidak melarang atau mengiyakan.
   “Kita rundingkan dahulu dengan Julak-mu. Sebab, selama ini Julak-lah yang  mendidik dan merawatmu. Julak sudah seperti ayahmu,” jawab ibunya. “Nanti niatmu Bunda sampaikan.”     
   Arya mengiyakan.
   Malam harinya, Arya dipanggil Julak-nya, Datu Magat. Jantungnya berdebar-debar menantikan jawaban.
   “Kalau niatmu seperti itu, Julak tak bisa melarang. Engkau telah dewasa.Julak yakin dengan ilmu yang kau miliki. Ke manapun pergi, kau tidak akan kelaparan,” kata Datu Magat sambil menepuk bahu keponakannya yang bersimpuh di hadapannya.
   Arya merasa lega.
   Datu Magat melirik Diang Wangi yang juga bersimpuh di samping anaknya. Gurat kesedihan tergambar di wajah adik kandungnya itu.
   “Diang...”
   “Pun[67],  Kakak...,” sahut Diang.
   “Ibarat burung, anakmu sudah punya sayap. Wajar kalau sekarang ia ingin menggunakan sayapnya untuk terbang, ke mana pun, termasuk untukmencari ayahnya,”  sahut Datu Magat. Pandangannya kembali diarahkan kepada Arya. “Dan, kau, Arya, untuk mencari ayahmu, mungkin kau harus madam[68]cukup lama. Ilmumu belum cukup...”
   Datu Magat menahan kata-katanya, membuat hati Arya berdebarItak dapat membayangkan hal-hal yang akan ditemuinya di perantauan. Ia belumpunya arah tujuanArah kepergian ayahnya itulah satu-satunya petunjuk. Tapi, hati kecilnya berkata, “Percuma aku dijuluki Arya Tadung Wani, kalau tidak berani pergi,”  pikirnya.
   “Lalu, apa lagi, Julak? “ tanya Arya.
   Datu Magat menyuruh Diang Wangi mengambil lima lembar daun sirih yang harus dipetik dengan tangkainya.
   Sementara Diang wangi pergi, Datu Magat melanjutkan petuahnya. “Di perantauan nanti, kau tidak hanya akan menghadapi alam, tapi juga masuk kampung, keluar kampung, dengan adat istiadat berlainanBertemu orang-orangdengan sifat dan tabiat bermacam-macam. Agar selamat, kau harus memiliki lima sifat utama...”
   “Pertama, jangan sombong. Pandai-pandailah membawa diri. Jujurlahdalam perbuatan. Hindari menggunjing orang lain. Kedua, kalau bicara dengan yang lebih tua, atau dituakan, jangan kasar.
   “Ketiga, dalam musyawarah jangan suka memotong pembicaraan orang lain. Dengarkan dahulu perkataan orang, hargai pendapat orang, baru mengemukakan pendapat sendiri. Keempat, bersikaplah seperti keris. Jangan salah menggunakannya. Pelihara dan asahlah selalu. Keris itu ibarat ilmu. Ilmu yang kita miliki dapat meningkatkan derajat dan wibawa kita. Itu sebabnya, keris selalu menjadi pelengkap pakaian pembesar kerajaan. Lambang kebesaran dan wibawa. Jadilah orang yang disegani, bukan ditakuti.
                             “Kelima, jadikanlah dirimu seperti bajak. Bajak adalah alat bertani. Dengan bajak, kita menggarap ladang. Bajak digunakan untuk mempersiapkan lahan. Makin luas lahan yang dibajak, makin banyak yang bisa ditanam, banyak pula hasilnya. Tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala sesuatu....”
   Datu Magat berdiri, mengambil sebuah cupu dari peti kayu tua, dan secarik kain kuning selebar sapu tangan, lalu memotong tangkai daun sirih yang diserahkan Diang Wangi.
   Datu Magat menggoreskan gagang sirih itu di tengah kain kuning, membentuk lingkaran dengan lima pancaran, seperti gambar matahari yang bersinar. Kemudian, memotong lagi setangkai daun sirih, menggambar dua buah tanduk kepala kerbau yang diletakkan pada salah satu garis pancaran. Tangkai sirih kedua membentuk gambar burung pada pancaran berikutnya. Tangkai sirih ketiga, bergambar gamelan. Tangkai sirih keempat, gambar keris, dan tangkai sirih yang kelima gambar tajak[69]. Kelima gambar itu melingkari gambar matahari yang bersinar.
   Diang Wangi dan Arya Tadung Wani yang mengamati, tapi tak mengerti, memberanikan diri bertanya:
   “ Apakah ini rajah[70]?” tanya Diang Wangi
   “Atau, jimat?“ timpal Arya.
            Datu Magat melipat kain kuning bergambar itu, memasukkannya ke dalam cupu, lalu menjawab, bahwa gambar yang dibuatnya bukan rajah. Tapi, kalau mau dibilang jimat, boleh jadi. Gambar itu adalah lambang lima keutamaan,untuk menjaga keselamatan, yang disampaikannya tadi.
            Datu Magat belum mengenal baca tulis. Cupu kecil seukuran buah jambu itu disumpalnya dengan empulur kayu pulantan, lalu diserahkannya pada keponakannya. Cupu keramik itu diberinya nama “Cupu Astagina”.
***
   Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali Arya Tadung Wani bersujud mencium tangan dan kaki ibundanya dan Datu Magat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi mencari ayahnya.
   Dengan bekal secukupnya, Arya Tadung Wani melangkahkan kaki kanannya lebih dahuluberjalan ke arah matahari terbit, mengikuti petunjuk ayahnya. Dtengah perjalanan, ia singgah dan bertanya pada kerabat ibunya bernama  “Ma Bu’un”[71]. Lalu, singgah lagi di kediaman “Ma Burai”[72]dan dikediaman “Ma Ridu”[73]. Sudah tiga kerabat disinggahinyatapi ia belummendapat titik terang.
   Lalu, ia melanjutkan perjalanan ke “daerah atas”, melewati Gunung Jajar Walu, Gunung Kakait, hingga Upau. Dsitu, ia menemui jalan buntu. Tanpa lelah dan putus asa, ia naik ke puncak tertinggi Pegunungan Meratus, membuat janur pucuk enau dan mengikatkannya di pucuk pohon tertinggi. Saat diterpa angin kencangjanur enau itu roboh. Mengikuti arah robohnya januria menentukan tujuan berikutnya.
   Nun di kejauhan, terlihat kepulan asap, yang menandakan permukimanpenduduk. Arya ingat pesan Julak-nya tentang “lima sifat utama, yang tertuang dalam cupu manik “Astagina. Ia bimbangpulang kembali ke kampung halaman, atau meneruskan perjalanan? Dalam ragu, ia duduk bersila di bawah sebatangpohon besar, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikiran dan bersemedi.
   Saat itulah, tiba-tiba di hadapannya hadir sesosok pria kekar bertubuh raksasa dengan kulit bersisik. Arya berusaha menyapa, tapi lidahnya kelu. Ia menggerakkan tangan untuk menyentuh raksasa itu, tapi tak mampu.              
   Akhirnya, makhluk raksasa itu mengatakan, bahwa ia adalah ayah kandung Arya Tadung Wani. Arya Tadung Wani tak dapat menyentuh jasad ayahnya, karena telah berbeda alam. Ayahnya berpesan, agar Arya tetapmeneruskan perjalanan, akan melindunginya selama dalam perjalanan, dan akanmembantunya saat diperlukan.
   Konon, Arya Tadung Wani kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Simpur, Kandangan[74]bermukim di Kampung Pelajau[75] hingga wafat, dan dimakamkan di Jajuluk, Pelajau Hulu[76].
***

Tentang Penulis

Abdul Hanafi, dilahirkan di Tanjung Tengah, Kabupaten Tabalong, 5 September 1958. Sejak SD senang melukis, menulis dan pencak silatJuara I LombaMelukis Pekan Seni dan Olah Raga (Porseni) Senior III Depdikbud Kabupaten Tabalong (1986), Finalis Sayembara Penulisan Cerita Bergambar (cergam)SD/MI (Proyek Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta (2003). Peserta DiklatPembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Kalsel (1993), Pembinaan Seniman Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin (1997), Workshop PenulisanCergam bagi Finalis Sayembara Cergam Nasional, Jakarta (2002), Bengkel Penulisan Cergam SD/MI, Cisarua, Bogor (2003), dan sejumlah kegiatan olah raga seni bela diri pencak silat. Penulis dan ilustrator cergam Elang dan Tambunau (Penerbit Proyek Peningkatan Pendidikan Dasar I, Jakarta, West Java Basic Education Project, 2003), Raja Anum (Dewan Kesenian Tabalong, 2006), dan Peninggalan Sejarah (Situs) Kepurbakalaan, Seri Masjid Pusaka Banua LawasPenghulu Rasyid dan Makam Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (Penerbit Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong, 2006).Puisinya dimuat dalam Seloka Bisu Batu Benawa, Bunga Rampai Puisi AruhSastra Kalimantan Selatan VIII, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2011). Guru di SDN Padang Panjang (1984), Kepala SDN 2 Mangkusip(2003), dan beralih tugas (2006hingga sekarang) sebagai Penilik di UPT Inspeksi Pendidikan, Kecamatan Murungpudak. Bermukim di Kompleks Bumi Tabalong Damai Blok D Nomor 04 RT 10/RW 04, Mabu’un, Kecamatan Murungpudak, Kabupaten Tabalong 71571.

Gusti Indra Setyawandilahirkan di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 7 Januari 1972. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 3 Tanjung,Kabupaten Tabalong, mengajar di SMK Tabalong, memberikan kursus diLembaga Kursus Primagama, juga dosen STKIP PGRI. Anggota Sanggar Langit, Tanjung, pembina Sanggar Lasung Tangga SMAGA, anggota Dewan Kesenian Tabalong (DKT), dan Sekretaris Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Tabalong. Sering menjadi dewan juri Lomba Bakisah Bahasa Banjardan Lomba Baca Puisi tingkat kabupaten, selain penyanyi dan pencipta lagu.Bekerja sama dengan Srikandi Production House dan Imron Sadewo dalampenggarapan lagu-lagu daerah Banjar Astiyan (2001), dan dengan Dorce Gamalama menggarap album lagu anak-anak (2002). Peserta workshopMembaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS), kerja sama Dirjen Dikdasmen, Kemendiknas dengan Majalah Sastra Horison, Jakarta (2006).Juara Harapan I Lomba Baca Puisi Tingkat Umum Kabupaten Tabalong (2007),dan Juara Harapan II Lomba Nyanyi Lagu Dangdut Kabupaten Tabalong(2007).  Di bidang teater, bersama Teater Langit, Tanjung, Juara I Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Disbudpar HSS, 2008), Juara II Festival Pergelaran Sastra, Aruh Sastra Kalimantan Selatan V di Paringin, Kabupaten Balangan (2008), Juara III FestivalPergelaran Sastra, Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009); dan Juara Harapan I Festival Pergelaran Sastra,Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2011). Puisinya terdapat dalam bunga rampai Doa Pelangi di Tahun Emas(2009)Menyampir Bumi Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu Benawa(2011)dan Balian Jazirah Anak Ladang (2011), Secangkir Air Mata (2012),dan Sepercik Tangisan Rindu (2012)Penyiar acara Khazanah Sastra di Radio Nirwana, Tanjung; peserta Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) II di Bogor, Jawa Barat (2012), dan Duta Seni Provinsi Kalimantan Selatan pada pentas seni Kabupaten Tabalong di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur,Samarinda (2012).

Lilies MS (Lilies Marta Diana), dilahirkan di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, 28 Agustus 1966. Puisinya dipublikasikan di acara puisi Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post danDinamika Berita. Karyanya terdapat dalam Kumpulan Puisi Penyair Pelaihari (1981), Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri(1999), antologi cerpen Nawu Raha (2002), Seribu Sungai Paris Barantai,Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006);Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan  (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas,Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010), dan Seloka Bisu Batu Benawa(2011). Ketua Sanggar Langit, Tanjung, dan pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong. Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

Loki Santoso, dilahirkan di Kecamatan Jaro, 5 Oktober 1972. Bermukim di Desa Jaro, RT 6, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong.

Mahfuzh Amin, dilahirkan di Desa Ujung Murung, Kecamatan Amuntai Tengah,Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), 1 Mei 1990. Sulung dari tiga bersaudara,putra pasangan M. Jurkani dan Mastati. Sekolah di SDN Ilir Mesjid, Amuntai, Madrasah Tsanawiyah NIPA, Ponpes Rakha, Amuntai, dan SMKN 1 Amuntai(Akuntansi)kini bekerja di perusahaan swata di Kabupaten Tabalong. Di rumah, ia sehari-hari dipanggil “Amin (di tempat kerjanya dipanggil Mahfuzh), suka menulis sejak SD, dan bercita-cita menjadi penulis. Semasa di SMKN 1 Amuntai, pernah memimpin Majalah Sekolah Readzone, dan aktif menulis Serial Udin Pa’ak di majalah tersebut. Pernah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Forum Silaturahmi Pelajar (Fospel) Kabupaten HSU. Walaupun karyanya belum pernah dimuat di rubrik sastra koran-koran lokalcerpennya terhimpun dalamKumpulan Cerpen Metamorfosa Cinta (diterbitkan sendiri, 2008)danMekarnya Pesona Bidadari (Forpena, 2010)Selain bercita-cita menjadipenulis, ia juga ingin menjadi sutradara film. Unlucky Thievies (2012) adalah film perdana yang digarapnya (bersama Tim Kreatif Borneo). Giat menyusun konsep untuk membuat film-film lain, yang akan diikutsertakannya pada festival film indie.Dapat dihubungi melalui e-mail mahfuzhamin.rz@gmail.comataumahfuzh.amin@facebook.com. Sejak 2010, bermukim di Desa Kapar RT 09, Kabupaten Tabalong.

Muhammad Fitriadidilahirkan di Banjarmasin 4 Februari 1994. MahasiswaProgram Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) STKIP PGRI Banjarmasin. Juara I Lomba Bakisah Bahasa Banjar Tingkat SLTAKabupaten Tabalong (2011)Juara I Baturai Pantun Tingkat SLTA KabupatenTabalong (2011)Juara I Lomba Bakisah Bahasa Banjar Tingkat SLTAKalimantan Selatan (Bapustarda Kalsel, Banjarmasin (2011)Juara I LombaBakisah Bahasa Banjar Tingkat SLTA Kalimantan Selatan (Disporbudpar Kalsel, Banjarmasin, 2012)Juara III Lomba Mendongeng Tingkat Umum(FKIP Unlam, Banjarmasin, 2012)Juara II Loncat Tinggi O2SN KabupatenTabalong (2011)Finalis Utuh Diyang Tanjung Kabupaten Tabalong (2012),dan Duta Seni Provinsi Kalimantan Selatan pada pentas seni Kabupaten Tabalong di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda (2012).Puisinya dimuat dalam antologi Sepercik Tangisan Rindu (2012). Bermukim diJalan Jenderal Basuki Rahmat, Desa Wayau, RT 09, Tanjung, KabupatenTabalong.

H. Akhmad T. Bacco (Akhmad Tajuddin), dilahirkan di Desa Hayup, Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong, 13 Agustus 1958. Camat Tanjung, Kabupaten Tabalong. Ketua Sanggar Budaya Tataba Grup, ketua Dewan Kesenian Tanjung (DKT) dua periode (1999-2001, 2001-2004). Menulis puisi dan cerpen. Tahun 2001 mengajar lokakarya budaya di Kota Padang (Provinsi Sumatera Barat) dan Cirebon (Provinsi Jawa Barat). Silir Pulau Dewata (2003) adalah antologi puisi tunggalnya yang telah terbit. Kaminting Pidakan, yang dimuat sebagai cerita bersambung (cerbung) di Media Bersinar (Majalah Pemerintah Kabupaten Tabalong, novel berbahasa daerah Banjar), mendapat penghargaan Balai Bahasa Banjarmasin (2010). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam bunga rampai Duri-Duri Tataba, (1993), Semata Wayang Semata Sayang (1994), Potret Diri (1995), Jembatan, Antologi Puisi dan Cerpen Tiga Kota (2000), Nawu Raha, (2002), Raja Anum, Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong (2006), Ronce Bunga-Bunga Mekar, Antologi Puisi dan Cerpen Siswa SLTA se-Banua Anam (editor, 2007), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2007).  


ENDORSMENT
Buku ini dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi minimnyabahan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah KabupatenTabalong. Sebelum ini, buku cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong dapat dihitung dengan jari. Tidak heran kalau kemudian guru-guru ditingkat pendidikan dasar dan menengah di Bumi Saraba Kawakesulitan dalam mengajarkan mata pelajaran muatan lokal. Karenaminimnya bahan, langkah yang ditempuh para pendidik biasanyaadalah dengan mengambil cerita rakyat daerah lain sebagai bahan ajar. Hal ironis pun terjadi: anak didik lebih mengenal cerita rakyat daerah lain ketimbang cerita rakyat daerahnya sendiri.



[1] kura-kura besar.
[2] sejenis ikan, hidup di tebing-tebing sungai.
[3] musibah, kena tulah.
[4] dipanggil.
[5] “Masih jauhkah, Kak, tujuan kita?” (bahasa Jawa).
[6] “Entahlah. Yang penting, nanti kalau ketemu orang, kita istirahat dulu. Sambil menanyakan, di mana tanah subur yang luas dan boleh digarap.”
[7] “Sepertinya itu sebuah gubuk. Ayo, kita ke sana.”
[8] “Permisiii...”
[9] “Istriku, ada tamu. Rebuskan air. Kasihan, mereka datang dari jauh.” (bahasa Banjar).
[10] sejenis tumbuhan rawa.
[11] bakul besar yang dibuat dari anyaman rotan.
[12] “Anda mau beli apa?”
[13] “Anda dari mana? Baru ke mari?”
[14] “Anda orang mana?”
[15] “di dalam.”
[16] “di dalam sana, jauh.”
[17] tumbuhan merambat, tumbuh di rawa.
[18] buah sukun.
[19] kayu besi.
[20] menangkap ikan, langsung dengan tangan.
[21] perangkap ikan terbuat dari anyaman bambu.
[22] sejenis ransel terbuka, terbuat dari rotan besar, tingginya sekitar 60 cm, memiliki empat tiang kecil sebagai penopang tiap sudutnya, berfungsi sebagai tempat membawa perlengkapan bertani, atau hasil panen.
[23] mahar.
[24] kepala suku.
[25] tari tradisi yang hingga kini masih lestari, sering dimainkan pada acara tertentu di Kabupaten Tabalong.
[26] Kabupaten Balangan sekarang.
[27] bambu besar.
[28] senjata tradisional Suku Dayak Kalimantan.
[29] pencak silat Banjar.
[30] kenduri, pesta, selamatan.
[31] kendang besar.
[32] kendang kecil.
[33] pemimpin upacara adat.
[34] menari gintur.
[35] sungai.
[36] Abad XIII.
[37] Uria Tujuh.
[38] konon, akibat ditabat (dibendung) Pujung itulah, sungai dan daerah ini kemudian dinamakan “Tabalong”.
[39] seperti tertulis dalam  Hikayat Banjar.
[40] kini termasuk Kecamatan Haruai.
[41] rusa.
[42] jenis ikan air tawar.
[43] nasi tumpeng.
[44] selamatan.
[45] pesta keramaian.
[46] tari topeng.
[47] kutang terbuka.
[48] uang lama.
[49] memukul niru.
[50] rakit bambu.
[51] saya (penyebutan diri yang muda kepada yang lebih tua).
[52] sekarang Desa Balimbing, Kecamatan Murung Pudak.
[53] Ding, Ading = Dik, Adik.
[54] tidur.
[55] diikat, dengan cara disambung.
[56] Anda.
[57] semoga tidak.
[58] dirayakan dengan pesta.
[59] pelancar beranak.
[60] main gasing.
[61] nama permainan anak-anak Banjar.
[62] nama permainan anak-anak Banjar.
[63] saudara ayah/ibu yang tertua.
[64] sejenis monyet.
[65] nama jenis ular berbisa.
[66] dalam bahasa Banjar, artinya “Arya Ular Pemberani”.
[67] Ya.
[68] merantau.
[69] alat pertanian tradisional.
[70] benda magis.
[71] kini, bekas kediaman “Bu’un” disebut “Mabu’un”.  (Panggilan “ma” dalam bahasa Dayak Maanyan berarti “orang tua si...”, atau “bapak”, atau “tuan”.)
[72] sekarang “Desa Maburai”.
[73] sekarang “Sirkuit Maridu”.
[74] sekarang Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
[75] sekarang Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
[76] ibid.